Marlina - Moohla!

Sunday, November 8, 2020

Marlina

SEMUA itu memuncak hari Senin lalu. Ketika Sum, teman seprofesiku, minta tolong. “Bu Mar. Bulan depan saya mulai cuti,” kata Sum sembari tangannya mengusap perutnya yang membesar. Lalu, dia menyuguhkan senyum kepadaku. Matanya sesekali menunduk, melihat ujung perutnya yang dibalut kain motif pulkadut.



  Syafrizal Sahrun*  

Aku dapat menangkap pesan tersiratnya. Dia pasti minta aku menggantikannya mengajar. Heh, cara penyampaian yang basi. Kau tahu, ini sudah yang kesembilan kali. Gila gak? Kuat amat! Mau diapakan bocah-bocah itu nanti? Hah? Mau jadi apa?

Aku diam sambil menatapnya. Memberi isyarat supaya ia bisa memahami kondisiku sekarang ini. Keinginan untuk marah kutahan-tahan.

“Tuh, sih, kamu. Gak pernah ngerasain,” katanya.

Sontak aku naik pitam mendengar apa yang dikatakannya. Tanpa sadar aku jadi ringan tangan. Pess.. Tanganku naik ke pipinya. Dia menangis. Ruangan guru jadi gaduh. Teman-teman mulai mendekat. Lalu, aku disergap rasa bersalah karena hal yang baru saja kulakukan. Kuambil tasku, lalu melangkah pergi. Aku ingin sendiri.

“Semestinya aku tak melakukan itu,” kesalku.

Halte yang ada di terminal dipenuhi banyak orang ketika aku sampai. Aku tak dapat tempat duduk dan harus berdiri. Beberapa menit kemudian, seorang remaja memakai ransel – mungkin pulang kuliah – yang tadi kulihat duduk di belakangku sudah berdiri selangkah di depanku. Busway berhenti di depan kami. Remaja itu naik dan diikuti beberapa orang yang ada disini.

Halte jadi lebih sepi. Aku mundur, lalu menduduki tempat remaja tadi. Aku jadi lebih santai untuk memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Kuambil botol minuman dari dalam tas kulit merah marunku. Lalu, kudeguk air yang ada di dalamnya.

Bagaimana mungkin perempuan kampungan itu bisa dianugerahi anak sebegitu banyak? Aku bisa pastikan gizi makanannya. Ya, dari itu ke itu juga. Berapalah gaji guru? Apalagi suaminya cuma pekerja serabutan.

Sedangkan aku? Dua kali sehari minum susu, makan buah, vitamin. Dua minggu sekali kontrol kesehatan ke dokter pribadi. Ah, kalau masalah gaji, aku yakin gaji kami tiga kali lipat dari penghasilan Sum dan suaminya. Penghasilan suamiku saja berlebih untuk kebutuhan kami.

Kau tahu? Sudah hampir 10 tahun aku dan Bang Alex menikah. Tapi, toh, belum juga ada tanda-tanda aku hamil. Dokter kandungan saja sudah sepuluh yang kami datangi. Apa yang disarankan telah kami lakukan. Entah berapa banyak obat kesuburan dan vitamin yang sudah aku telan. Begitu juga dengan Bang Alex. Tetapi, tetap saja tamu bulananku tak pernah telat datang.

Pernah dulu, beberapa kali aku berobat ke dukun kampung. Itu pun aku yang memaksa Bang Alex untuk turut. Seluruh pakaianku dilepas. Aku hanya memakai sarung. Selanjutnya, tangan dukun perempuan itu mulai mengurut tubuhku. Mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Di daerah perut, tangan dukun itu banyak bergerak. “Rahim kau tak bagus letaknya,” kata dukun itu. Kemudian ia coba memperbaikinya.

Yang membuatku risih, ketika tangannya mengurut di wilayah kemaluanku. Aku sempat menolak. Ketika mataku memberi isyarat kepada Bang Alex yang juga ada bersamaku di dalam kamar itu, Bang Alex malah tersenyum seraya memberikan izin kepada dukun itu. “Biarlah,” pikirku. Itu juga supaya aku bisa hamil. Supaya aku bisa menjadi mama dari anak-anak Bang Alex.

Setelah aku, giliran Bang Alex yang diurut. Tetapi, bukan dukun perempuan tadi yang melakukannya, melainkan seorang lelaki. Kalau kutaksir usianya kepala empat. Lebih muda dari yang mengurutku tadi. Setelah kami berdua selesai diurut, kami disuruh meminum jamu di dalam gelas yang telah disiapkan di atas meja.

“Ini yang dua bungkus dibawa pulang ya,” kata dukun perempuan itu. “Diminum bangun tidur dan hendak tidur.”

Apa yang disarankan telah kami lakukan dengan baik. Berbagai teknik bercinta untuk mempercepat kehamilan juga sudah kami lakukan. Tetap saja hasilnya nihil.

Aku tak bisa membayangkan jika seandainya Bang Alex menikah lagi untuk mencari keturunan, sedang aku dimadu. Atau malah dia menceraikanku. “Ampun!!!” kepalaku mau pecah kalau membayang-bayangkan itu.

Lamunanku buyar saat kusadari tinggal aku sendiri di halte ini. Sesaat kemudian sebuah busway berhenti. Aku pun naik.

***

Selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di kursi rotan panjang yang ada di teras rumah. Sore ini, langit masih begitu cerah. Kupandangi ayunan besi di pekarangan yang dikelilingi tanaman-tanaman anggrek dan beberapa jenis mawar hasil kawin silang.

Aku membayangkan sedang duduk di ayunan itu sembari berayun-ayun pelan. Di tanganku ada sepiring nasi dengan sayur brokoli bercampur kentang dan wortel. Sedangkan tangan kiriku mengangkat sendok yang telah berisi nasi dengan sedikit sayuran. Chantia Adelina, anakku yang berusia tiga tahun setengah ada di sampingku. Dia sangat manis dan menggemaskan. Di rambutnya tersemat pita kupu-kupu jingga. Aku pun menyuapinya. Sedangkan Nikolas, anak sulungku, sedang bermain mobil-mobilan di sebelah sana, dekat bagasi. Sesekali aku meliriknya. Takut kalau-kalau ada sesuatu yang menimpanya. Alangkah bahagianya aku.

Tetapi, ketika aku menyadari itu cuma halusinasi, hatiku jadi begitu sakit. Sesak nafasku membayangkan itu. Air mataku jatuh juga meski sudah kutahan-tahan. “Tuhan! Kenapa siksaan ini kau berikan kepadaku?”

Hari ini aku lebih cepat datang ke sekolah. Tampak beberapa siswa sibuk membersihkan pekarangan kelasnya. Aku duduk di bangku yang menghadap ke lapangan sekolah. Hari ini aku berniat meminta maaf kepada Sum. Setelah kupikir-pikir semestinya aku tidak menamparnya kemarin.

Bagaimana aku menyampaikan apa yang disarankan Bang Alex? “Untuk menebus kesalahanmu, aku mau mengadopsi anak itu nanti kalau lahir,” kata Bang Alex tadi malam ketika aku menceritakan kejadian itu kepadanya. Sebenarnya berat aku menerima, lebih tepatnya malu.

Mendengar petuah-petuah orang tua, katanya mengadopsi anak akan memancing lahirnya anak bagi pasangan seperti kami. Itu sudah dibuktikan oleh beberapa teman. Untuk itu aku setuju dengan permintaan suamiku. Lagi pula bisalah itu sebagai penebus rasa bersalahku.

Aku lalu mengarang-ngarang cara jitu untuk menyampaikannya kepada Sum nanti. Mengarang apa yang sebenarnya sudah kukarang-karang.

Bel masuk berbunyi. Tetapi, Sum belum terlihat juga. Bukankah hari ini dia ada jam sampai les terakhir? Lagi pula tak mungkin secepat ini dia libur. Kandungnnya masih berusia delapan bulan.

Aku masuk ke kelas menurutkan jam pelajaran pertama yang telah dimulai. Aku menyampaikan pelajaran dengan pikiran yang terus tertuju pada Sum. Hingga jam keenam berlalu, Sum tak juga kutemukan di sekolah. Tak mungkin aku menunda inginku ini besok, atau lusa. Ini harus tuntas segera.

Kuputuskan untuk menelpon Sum saja. Aku mau ajak dia bertemu. Kalau nanti dia di rumah, selesai mengajar ini aku ke rumahnya. Kuambil smartphone-ku dari dalam tas kulit merah marun. Kutelpon Sum. Tut…tut…tut…, tak ada jawaban. Kucoba lagi. Tak ada juga jawaban. Kucoba lagi. Ketika panggilan ketiga baru dimulai, kulihat dilayar smartphone-ku ada sms masuk. Kubatalkan panggilan ketiga kepada Sum. Setelah telpon terputus, kutahu sms tadi adalah sms dari nomor informasi sekolah. Kubaca sms itu: Innalillahi wainna ilaihi roziun. Telah meninggal dunia Sumiati, S.Pd satu jam yang lalu di RS. Prihatin dalam proses melahirkan sesar. Akan dikebumikan segera. Diharapkan kepada semua guru yang bertugas hari ini untuk bertakziah sepulang sekolah. Ttd. Kasek,” begitu yang tertulis.

“Ya, ampun,” kataku. Kupegang kepalaku dan kujambaki rambutku.

Percut, 2017
______________________________________


Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).

Bagikan artikel ini

Silakan tulis komentar Anda