Menganalisis sebuah karya sastra pada hakekatnya adalah usaha untuk merebut makna karya sastra tersebut. Oleh sebab itu teori sastra bukanlah tujuan, melainkan alat yang digunakan dalam proses perebutan makna. Yang penting dalam usaha ini bukanlah membuktikan bahwa sebuah teori cocok atau tidak cocok dan tepat atau tidak tepat. Teori adalah tempat bertolak untuk menuju suatu medan yang tidak terduga sebelumnya, yang dalam prosesnya sama dengan penulisan karya sastra sendiri. Apabila penulisan karya sastra adalah suatu proses kreatif (kritik sastra) juga suatu proses kreatif.
Salah satu di antara keduanya (karya sastra dan kritik sastra) tidak lebih penting yang lain. Karya sastra tidak lebih penting dari kritik sastra. Sebaliknya, kritik sastra juga tidak lebih penting daripada karya sastra. Tanpa adanya karya sastra sudah barang tentu tidak dapat dilakukan kritik sastra. Tanpa dilakukan kritik sastra maka karya sastra tidak dapat berbuat apa-apa terhadap pembaca. Oleh sebab itu, keduanya merupakan kerja kreatif.
Karya satra adalah dunia otonom yang mempunyai relevansi dan signifikasi dengan dan dalam dunia nyata. Ia merupakan sebuah keseluruhan yang berstuktur, yang konsisten dan koheren (Teeuw, 1983: 22-4). Upaya merebut makna karya sastra, terutama karya naratif, dapat dimulai dari mengelompokkan peristiwa-peristiwa sesuai dengan struktur cerita (sesuai urutan waktu). Selanjutnya meneliti kaitan langsung atau tidak langsung antara peristiwa dengan peristiwa, meneliti watak tokoh (perkembangan watak tokoh). Berikutnya kita upayakan melihat bagaimana penempatan (alur), yang dapat pula dikaitkan dengan latar belakang kehadiran sebuah karya.
Apakah kita dapat atau tidak merumuskan tema dalam satu kalimat dan amanat dalam kalimat lain tidaklah begitu penting. Saat terpenting sebetulnya adalah manakala pembaca atau peneliti menemukan suatu yang berharga, yang kadang-kadang tidak dapat dirumuskan dalam beberapa kalimat saja.
Dengan merumuskan tema dan amanat sebenarnya kita telah terperangkap dalam dikotomi: iya-tidak, benar-salah, dan ini bukan yang itu. Seolah-olah tema karya sastra tertentu atau makna karya sastra tertentu hanya satu. Padahal menafsirkan teks sastra tidak boleh menunjukkan satu arti saja, melainkan membeberkan aneka kemungkinan. (Barthers dalam Luxemburg, 1984:6).
"Matahari sesungguhnyalah garang kini," adalah kalimat penutup dari cerpen "Wesel" yang ditulis oleh Irwansyah. Cerpen ini adalah Juara 1 Penulisan Cerpen Porseni tingkat Nasional tahun 1981 di Jakarta dan kemudian dimuat dalam Warta Mahasiswa edisi September 1981.
Apa yang dimaksud dengan "matahari garang" dalam cerpen ini?
Cerpen Wesel menceritakan tentang seorang mahasiswa yang datang menemui Pak Dekannya untuk mengajukan permohonan keringanan waktu untuk membayar SPP. Alasan yanh diajukan adalah karena weselnya terlambat datang, padahal ujian sudah dekat sekali. Ia sudah berulang kali berkirim surat kepada orang tuanya. Akan tetapi orang tuanya memberi alasan bahwa padi yang diharapkan saat ini terserang wereng. Oleh sebab itu, uang yang sedianya akan dikirimkan terpaksa digunakan dulu untuk membeli racun hama.
Upaya orang tuanya untuk menjual sapi satu-satunya yang mereka miliki gagal pula karena sapi mati termakan racun hama. Yang dapat disampaikannya hanyalah kata 'sabar'.
Di saat mahasiwa menceritakan keadaan orang tuanya, Pak Dekan teringat kejadian yang sama pada dirinya sewaktu ia masih menjadi mahasiswa dulu. Waktu itu permohonannya ditolak. "Tak punya uang, jangan kuliah. Perguruan Tinggi bukanlah jawatan sosial".
Pak Dekan terombang-ambing antara menerima atau menolak permohonan mahasiswa di depannya ini. Bisikan pertama menyuruh menolak sebagai balas dendam. Bisikan kedua menyuruh menerima karena hal itu kesempatan berbuat baik. Akhirnya Pak Dekan mengabulkan permohonan ini.
Setelah mengucapkan terima kasih dalam keharuan yang mencekam (keduanya meneteskan air mata) mahasiswa pulang ke tempat pemondokannya. Di saat itulah wesel datang. Kedatangan wesel itu tidak sedikitpun mengembirakan si mahasiswa ini, justru lebih menegangkan. "Ayah sudah meninggal. Pulanglah segera. Ini sekedar ongkos pulang," begitu berita yang tertulis di sudut wesel.
***
Dari jalan cerita yang begitu memukau dapat diduga bahwa yang dimaksud dengan matahari dalam cerpen "Wesel" adalah kehidupan dan perjuangan si mahasiswa dan keluarganya. Kesusahan, penderitaan yang begitu menyiksa digambarkan oleh penulis dengan "matahari yang garang". Panas yang membuat kering segala kelembaban; membuat mati rumput dan kayu yang dapat mengancam kehidupan.
Akan tetapi kalau manusia mau bersabar dan berusaha sambil berdoa, di balik pendakian ada penurunan; sekali kehidupan di atas, sekali di bawah; sekali air besar, sekali tepian berubah. Setiap akhir musim kemarau pasti ada musim hujan walaupun nanti akan kemarau lagi.
Begitulah nasib mahasiswa ini. Dalam keganasan mataharinya, turun sedikit embun. Walaupun tidak membasahkan tetapi cukup melembabkan. Walaupun Pak Dekan mempunyai kesempatan untuk membalas dendam, namun ada bisikan mulia dari Yang Maha Gaib, "Bantulah orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Ini kesempatan kau berbuat baik. Kesempatan untuk menambah tabungan amal di akhirat. Jangan kotori lagi hidupmu yang tersisa". Begitu kuat gema bisikan ini, sehingga mengalahkan bisikan kedua, "Ah, masa bodoh dengan nasib lelaki muda di depanmu. Biar dirasakannya apa yang dulu pernah kau rasakan. Masakan kau saja yang merasakan getirnya. Kau sudah pernah merasakan sakitnya. Tapi kau belum pernah merasakan bagaimana puasnya bila bisa membalaskan sakit hati. Sekaranglah masanya. Pergunakanlah kesempatan ini. Pergunakanlah kekuasaanmu. Juga dengan berbuat demikian belum tentu akan menambah lama kau di neraka. Ayo, apalagi! Apalagi!
Rupanya masalah tidak hanya sampai di sana. Matahari semakin ganas di pundak si mahasiswa. Ayahnya meninggal...!
***
Cerpen "Wesel" menggunakan alur sorot balik. Urutanb peristiwa yang kita jumpai dalam teks adalah sebagai berikut. Peristiwa pertama yang kita jumpai adalah kehadiran seorang mahasiswa di dalam kantor Pak Dekan untuk meminta keringanan waktu pembayaran SPP (selanjutnya disebut peristiwa A).
Peristiwa kedua adalah kehidupan orang tua si mahasiswa di kampung. Penceritaan peristiwa kedua ini berada dalam rangka peristiwa pertama, yaitu alasan yang dikemukakan si mahasiswa (B).
Peristiwa yang ketiga juga berada dalam peristiwa pertama, yaitu kegoncangan yang dialami oleh Pak Dekan antara menerima dan menolak permohonan mahasiswa karena teringat masa lalunya yang persis samabdengan keadaan mahasiswa yang di depannya (C). Sampai akhirnya Pak Dekan mengabulkan (D). Peristiwa berikutya mahasiswa menerima wesel setelah sampai di pemondokannya (E). Peristiwa terakhir berita kematian orang tuanya (F).
Secara urutan waktu peristiwa B lebih dahulu daripada peristiwa A kerena peristiwa B menyebabkan timbulnya A. Begitu juga peristiwa F lebih dahulu daripada peristiwa E karena berita yang ada pada berita E disebabkan oleh peristiwa F. Sehingga kalau digambarkan maka:
Struktur Penceritaan: A-B-C-D-E-F
Struktur Cerita: C-B-A-D-F-E
Apa artinya alur dalam sebuah cerita?
"Alur ialah konstruksi yang dibuat pembaca mengenai sebuah deretan peristiwa yang secara logik dan kronologik saling berkaitan dan yang diakibatkan dan dialami oleh para pelaku," (Luxemburg, 1984:149). Dengan pengertian ini, jelas alur bukanlah ditentukan oleh pengarang. Dengan kata lain, pengarang tidak merancang terlebih dahulu alur mana yang akan digunakannya. Akan tetapi pembacalah dengan pengetahuannya mengenai alur mengongkritkan jenis 'apanya' alur karya sastra tersebut. Hal ini juga berdasarkan anggapan bahwa penulisan karya sastra bukanlah kerja pertukangan yang memulakan terlebih dahulu apa yang ingin dibuatnya. Penulisan karya sastra adalah proses kreatif. Sebuah proses yang tidak didahului dengan membuat pola, mengumpulkan bahan, dan mencari tokoh. Akan tetapi segala sesuatu terlahir sewaktu proses kreatif itu berlangsung.
Fungsi alur yang utama adalah agar cerita terasa sebagai cerita yang berkesinambungan dan mempunyai kaitan yang erat antara peristiwa dengan peristiwa. Di samping itu alur juha menjadikan cerita berjalan lancar, tidak tersendat-sendat. Untuk merebut makna sebuah karya naratif, alur tidak selalu berperanan. Untuk karya sastra nonkonvensional atau apa yang disebut dengan karya "anti alur" seperti karya-karya surealisme mungkin penokohan dan perwatakan yang lebih penting. Untuk karya yang konvensional, alur sangat berperan, di samping penokohan dan perwatakan.
Dalam cerpen "Wesel", peristiwa C tidak muncul pertama kali tetapi muncul sebagai peristiwa ketiga. Padahal menurut urutan waktu, peristiwa C mendahului seluruh peristiwa. Hal ini dimungkinkan karena kalau C muncul pertama kali maka terjadi perpindahan suasana secara drastis dan cerita harus dihentikan untuk sementara untuk menjeput peristiwa B yang dalam urutan waktu adalah peristiwa kedua. Kalau ini terjadi maka cerpen tersebut telah kehilangan cironya sebagai cerpen yaitu 'kepaduan'.
Dalam cerpen, 'kepaduan' lebih diutamakan sehingga jarak waktu yang begitu lama (dari C ke B) terasa pendek saja. Untuk menjelaskan pengertian kepaduan ini dapat diambil perbandingan kepada "kaba" (sejenis sastra lisan Minangkabau). Dalam "kaba", peristiwa dikisahkan secara tersendiri, terpisah-pisah. Hal ini dapat diperhatikan dengan melihat cara perpindahan satu peristiwa ke peristiwa lain dengan menggunakan ucapan:
"Kaba baraliah anyo lai, namun baraliah sanan juo," atau "Diulang sekali lai, panjampuik nan tingga cako". (Cerita berpindah lagi, namun perpindahan di sana juga, atau Diulang sekali lagi, untuk menjeput yang tinggal tadi.)
Hal seperti itu tidak pernah ada, bahkan tak mungkin ada dalam cerpen karena hal itu memperlihatkan jarak dan kerenggangan peristiwa dengan peristiwa lainnya.
Pada bagian lain "Wesel", E mendahului F karena keduanya mempunyai hubungan kausalitas. Padahal menurut urutan waktu F lebih dahulu daripada E. Dengan alasan kepaduan tadi maka cerita menjadi lamcar, padat (padu), dan lancar. Inilah fungsi flash back dalam cerpen "Wesel".
***
Tokoh utama dalam cerpen "Wesel" adalah si mahasiswa dengan latar belakang kehidupan yang "berkekurangan". Keinginan melanjutkan perkuliahan dalam keadaan berkekurangan seperti itu memaksanya untuk menempuh satu-satunya jalan agar SPP tidak menjadi halangan untuk menempuh ujian. Ia meminta dispensasi waktu untuk membayar SPP. Kalau ini gagal maka sia-sialah perkuliahannya selama ini.
Walaupun permohonannya diterima, tidak berarti "Mayahari tidak akan garang lagi. Itu hanyalah gerimis yang menyebabkan awan menutupi sinar matahari untuk sementara. Namun dalam kebersahabatan matahari di pundak mahasiswa untuk sementara itu, justru mengingatkan tokoh kedua (Pak Dekan) akan masa lalunya yang juga "diteriki oleh mataharinya". Ia pernah memimta dispensasi waktu untuk membayar SPP kepada dekannya, tetapi ditolak dengan jawaban yang menyakitkan, "Tidak punya uang, jangan kuliah. Perguruan Tinggi bukan jawatan sosial". Sakit, sakit sekali. Sungguh sakit menjadi orang melarat.
Peristiwa yang menyakitkan itu tidak menjadikannya sombong. Ia tidak mau membalas dendam walaupun ia sempat terombang-ambing antara menerima dan menolak permintaan mahasiswanya. Justru peristiwa itu dijadikannya pelajaran bahwa membantu orang-orang yang sangat membutuhkan pertolongan akan menambah tabungan untuk dibuka di akhirat nanti. Oleh sebab itu ia mengabulkan permintaan tokoh utama (si mahasiswa).
Kematian orang tua tokoh utama di saat-saat ia mengharapkan kiriman uang membuat peristiwa semakin berlanjut. Tiupan angin segar dari dekannya sirna begitu saja. Wesel yang datang bukanlah sebagaimana wesel yang ditunggu setiap orang. Ia tidak membawa bahagia. Ia tidak terukir dengan uang puluhan ribu, tetapi membawa pisau yang mengoyak-ngoyak jantung orang yang menerimanya. Pilu...!
***
Persoalan yang ditampilkan cerpen "Wesel" sungguh menarik. Perwatakannya sangat intens. Di akhir cerita baru kita tahu bahwa peristiwa sebelumnya benar-benar dipersiapkan untuk menghadapi perkembangan watak tokoh-tokohnya, menunggu kedatangan bom yang menghancurkan perasaan siapa saja yang mengalaminya. Kematian orang tua di saat kehadirannya sangat dibutuhkan.
Padang, 24 Maret 1986
______________________________________
(Artikel telah terbit di Harian Singgalang, 3 April 1986.)