Membaca sebuah kesempatan. Alangkah luas area yang akan disajikan oleh si pembaca. Pada sisi lain begitu tak pastinya sosok yang dia amati, jadi ada kecenderungan dia akan tersesat ke satu pelosok yang tidak dikehendaki. Inilah barangkali. Saat memilih kompilasi dia menyetujui pilihannya, mendedahkan apa yang dia baca untuk orang lain, dia harus siap menerima semua yang diinginkan.
Ada tiga puisi Syafrizal Sahrun yang dia muatkan di kolom Rebana, 27 Juli 2014. Kalimat ketiga itu (Fulan, Jalan Lain, Pulang Kampung) menurut pengamatan kita adalah bancuhan dari perasan, pikiran juga yang bertali-berkelindan satu sama lain. Ini adalah gaya yang memang tak mudah menyeimbangkannya.
Pada dasarnya puisi itu masih kita lihat bagaimana penyair masih belum sepenuhnya percaya pada kekuatan kata. Dia masih tampak sadar berhadapan dengan percakapan untuk membangun satu komunikasi dan pemahaman. Puisi kita dapati selalu terdiri gumam.
Dalam puisi “Fulan”, Syafrizal tampak berbicara tentang kelahiran dan kematian manusia sekali gus. Antara kelahiran dan kematian itu dia menyisipkan pergulatan hidup seorang anak manusia dalam membina eksistensinya. Dalam pergulatan hidup di dunia ini, penyair melihat pertarungan manusia yang getir dan pahit sementara dia berjuang kebahagiaan. Di sini penyair tampak menjadi gamang dengan memunculkan satu mengundang ironi: jika gigil telah dikirim / aku hujan yang nyala / dalam neon lampu beranda //.
Alangkah dilematisnya kehidupan seorang anak manusia dalam menapaki hidup ini. Dia tak lain adalah serpihan gigil demi gigil yang menjelma hujan. Basah kuyup dan menggigil dalam persetujuan tinggal yang tak pasti. Penuh dengan godaan yang menjerumuskan. Anehnya, mengharapkan "neon lampu beranda". Kecemerlangan. Kebahagiaan.
Kita melihat amsal dalam kehidupan nyata. Seorang anak diasuh dan dididik dalam bangku sekolah. Kemudian masuk perguruan tinggi. Terus melangit ke tingkat intelektual yang mumpuni. Pada saat ini dia diharapkan telah siap menerima tanggung jawab. Karena telah dibekali dan dibuat oleh berbagai perisai yang siap menerima terpaan. Kenyataan hidup ternyata tidak sesederhana itu. Dunia rupanya merupakan jalan tol menuju surga. Dia penuh onak dan duri. Penuh "miang". Seperti yang dilukiskan oleh penyair: jika lambai halang ilalang / sarang sarang di badan / di situ mimpiku pulang / lari / rangkul berpelukan /.
Umpan ini juga penuh ironi. Berkejaran antara harapan hidup dan kenyataan getir yang harus ditanggungkan. Hidup di dunia adalah lambaian yang penuh gairah terhadap taman yang semerbak. Dengan bunga-bunga aneka warna.
Pada saat yang sama di sana mengintai halangan dan terpaan. Di antara bunga muncul sesuatu yang tak diharapkan. Berupa ilalang yang menjadi semak-samun. Sesuatu yang tak terduga. Kemudian muncul dan menjelma menjadi tragis: menjadi miang! Racun yang bersarang di badan. Mau lari dari kenyataan ini? Memang manusia selalu menghindar dari kenyataan pahit yang dialaminya. Semakin dia berusaha lari semakin dia berangkul dan berpelukan!
Mari kita lanjutkan dengan masalah anak yang telah dibekali ilmu-pengetahuan yang mumpuni di atas. Bagai mesin yang canggih dia sudah siap melayani pekerjaan yang meminta tanggung jawab berat. Ternyata seorang anak manusia hanyalah mesin. Dia tak cukup dibekali hanya dengan ilmu-pengetahuan. Taruhlah dia diberi jabatan yang berkelas. Sementara itu, keputusan strategis yang ditutup. Masih bisa amblas oleh lambaian halang ilalang tadi.
Misalnya Ketua Menteri Agama atau Ketua MK tentulah satu jabatan yang hampir tidak memiliki kepemilikan yang berlubang. Tentu kita beranggapan jabatan seperti itu disandang oleh yang punya arif dan mumpuni. Dalam realita ternyata mereka sama rapuhnya sebagai manusia biasa. Mereka memiliki "mimpi" yang sama dalam hidup ini. Untuk megelakkan "miang". Ketakutan dan kepahitan hidup. Untuk keluar dari sana lalu lakukan jalan pintas. Menikmati mimpi sambil dibangun dari ilusi.
Puisi Jalan Lain mengarah ke kematian atau keinsyafaan diri, Penyair seakan memberikan terapi terhadap apa yang terjadi pada puisi pertama di atas. / Menolak matamu / menolak daun-tumbuh / tumbuh, kembang dan gugur /. Dalam sastra Islam, Rasulullah SAW selalu menganjur umat mengingat kematian. Abubakar As-Shiddiq menggigil tatkala merasakan kematian karena di sana akan berjumpa Tuhan.
“Alangkah kehancuran dan aku menjadi jerami saja”, bisiknya.
Umpan balik pada umpan ketiga: / matikan badanmu / biarkan alam-alam / lintas dan melumuri adamu / mengafanimu / kau akan menangis /.
Saat mengingat dan mengingat kematian manusia yang arif dapat melawan dan membantah eksistensinya ke jalan yang dicita-citakannya. Ustman ibn. Affan menjadi insyaf mengingat kematian karena menyadari di alam kematian manusia betul-betul hanya seorang diri. Tak bergaul dan tak terbantahkan dengan siapa pun yang disetujui di dunia.
Dalam hal ini eksistensi dan kematian merupakan dua rangkaian yang tak terpisahkan. Eksistensi adalah usaha manusia dalam mewujudkannya di dunia. Kematian mengingatkan dan mengarahkan manusia ke arah alam idealnya.
Mengapa manusia umumnya selalu terpeleset ke Arah yang berbeda dari yang diharapkan. Diharapkan itu berbeda dari dunia idealnya? Seperti yang dituturkan oleh penyair dalam puisi pertama, “kehidupan penuh” lambai halang ilalang ”? Apakah manusia modern sebagian besar sudah enggan mengingat kematian? Mungkin juga. Mereka mengelak demi impiannya.
Secara ironi fenomena ini diumumkan penyair pada umpan kedua: katupkan mulutmu / biarkan kali ini hatimu yang berbicara / menelanjangi di depan kaca /. Ironi. Karena mau kita tatap di acara demi acara dewasa ini, siapa lagi yang sudi mengatupkan mulutnya alias mau berdiam diri senang bisa berkata-kata.
Kita melihat seperti di dalam arena pileg dan pilpres semua yang terlibat berbicara seperti tanpa selesai mengumbar janji-janji, menepuk dada atau meminta tanpa malu sesuatu yang harus dikeluarkan dari yang diminta. Apa yang menyebabkan hal ini terjadi? Apakah perlu untuk mengisi dan membebaskan eksistensi seluas-luasnya?
Jean Paul Sartre, seorang filsuf Eksistensialisme membuka jalan ke arah ini. Katanya, “Realitas manusia gratis, pada dasarnya dan sepenuhnya gratis” (Realitas manusia bebas, pada kebebasan dan kebebasan bebas). Karena eksistensi manusia sesuai batas, sementara Sartre pun di pihak lain berpendapat tentang maut alih eksistensi menjadi esensi, maka ia memvonis maut sebagai sesuatu yang absurd.
Sartre menolak kehadiran atau mengubah antara eksistensi dan maut, meminta yang dikehendaki dalam literatur Islam tadi. Dia berpendapat bahwa maut berada di luar eksistensi manusia. Dengan demikian eksistensi (kehendak manusia mewujudkannya) sepenuhnya bebas.
Jika kita tahu konsep filsuf Eksistensialisme yang muncul awal abad kedua-puluh yang berakar dari budaya Yunani itu tampak laku keras di Barat. Filsafat ini mengagungkan manusia sebagai sentral. Manusialah yang memiliki eksistensi sepenuhnya tanpa batas. Tidak dapat ditampik, pada awalnya manusia memacu eksistensinya membawa kemajuan yang sangat pesat. Terutama di bidang sains dan teknologi yang memberikan kemaslahatan kepada manusia. Apa yang dicapai manusia di abad terakhir ini sungguh mencengangkan.
Di sisi lain, dia memberikan dampak negatif yang bukan pula alang-kepalang. Sebotol minyak wangi atau satu mobil mungil yang keluar dari pabrik menghasilkan limbah yang tidak sedikit. Obat-obat yang mereka ciptakan berbalik menjadi penyakit dan panggil yang membantah.
Pupuk-pupuk kimia malah membuat tanah jadi tandus. Jasmaniah manusia modern kelihatan sehat-wa'lafiat namun jiwanya kering-kerontang. Pemberhalaan manusia oleh filsafat barat malahan membalikkan umat manusia dalam situasi stagnan!
Puisi-puisi Syafrizal yang ditangkap mengerti kekeliruan itu. Pada puisinya "Pulang Kampung" sugestif sekali dia bertanya: Kamu mau ke mana. Ya Mau ke mana kita. Sebuah pertanyaan filosofis yang harus dijawab.
_______________________________
Damiri Mahmud. Lahir di Hamparan Perak, 17 Januari 1945 dan wafat pada 30 Desember 2019 di kampung kelahirannya. Anak Melayu ini dikenal sebagai satrawan dan kritikus sastra Indonesia. Karya tulisnya tersebar di berbagai media masa lokal, nasional, serta Malaysia. Ada pula yang telah dibukukan.
(Artikel sudah terbit di Harian Analisa, 31 Agustus 2014.)