Cerpen adalah sebuah wadah penyaluran ekspresi manusia dalam memaknai kehidupan. Baik kehidupan pribadinya maupun kehidupan lain di luar dirinya. Problematika Kehidupan sebagai bahan pembuatan cerita mempunyai daya magnit untuk dikonsumsi manusia. Baik diposisikan sebagai hiburan maupun sebagai bahan renungan.
Menghadirkan daya magnit dalam sebuah cerita tidak segampang yang dikira. Butuh sebuah keahlian untuk meraciknya sehingga menjadi bahan bacaan yang berkesan sekaligus bermutu. Keahlian yang dimaksud bisa saja hadir sebagai pembawaan diri tapi tidak menutup kemungkinan ia ada dari proses latihan dan ketekunan. Jika keahlian yang datang dari pembawaan diri dan disertai latihan-latihan dan ketekunan alamat karya cipta yang dihasilkan menjadi lebih sempurna.
Membicarakan sebuah cerpen sebagai hasil karya cipta manusia adalah merupakan sebuah penghargaan. Penghargaan yang diberikan pembaca terhadap keberadaannya. Kebaradaannya sebagai bacaan yang dikonsumsi publik dengan latar belakang kehidupan pembaca yang berbeda-beda akan melahirkan kesan atau penafsiran yang berbeda-beda pula. Terlepas dari yang bersifat pujian maupun kritikan itulah bentuk penghargaan, atau yang lebih akrab disebut apresiasi.
Dalam kesempatan ini akan diberikan penghargaan kepada cerpen Lelaki Berjaket Biru Tua karya Mega Yudia. Cerpen tersebut dimuat pada rubrik Art & Cultur Harian Medan Bisnis tanggal 7 September 2014. Cerita dimulai dengan perkenalan tokoh ‘aku’ yang berprofesi sebagai penyiar acara request lagu-lagu di Boss FM. Ia mendapat permintan bertemu dari seorang lelaki yang tidak lain adalah pendengar setianya. Sebenarnya ia malas meladeni permintaan itu, tapi bersebab permintaan itu datang dari orang yang mengaku mengenalnya dan ada hal penting yang ingin di sampaikan, ia pun mengiyakan.
‘Debu vulkanik gunung Sinabung ternyata sudah melanda kota Medan. Dengan segera kusinggahkan diri membeli masker di sebuah apotik terdekat. Aku memang paling anti dengan sakit dan penyakit. Itu sebabnya motto hidupku tak pernah jauh dari “lebih baik miskin tapi sehat daripada kaya tapi sakit-sakitan”’.
Dari paragraf di atas dapat diartikan cerpen ini berlatar di Medan. Medan sebagai sebuah kota yang merasakan dampak erupsi Gunung Sinabung. Sayang, kata Medan hanya dipakai sebagai pinjaman. Pada paragraf tersebut juga terbaca motif nasihat yang mengarahkan pembaca untuk menjaga kesehatan. Kesahatan lebih berharga dari kekayaan.
Tokoh ‘aku’ lebih dahulu sampai di tempat yang dijanjikan untuk bertemu. Dalam keadaan menunggu itu, cerpenis memunculkan keluahan tokoh yang mengatakan: menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Kita pun sepakat mungkin pada pernyataan itu.
Lelaki yang ditunggu muncul. Lelaki itu di gambarkan cerpenis sebagai kunci yang membuka masa lalu tokoh yang menghadirkan konflik. Reza Ardinata namanya. Lelaki yang semasa SMA menggunakan kaca mata tebal. Kaca mata tebal identik dengan kutu buku. Bersebab kekutubukuannya itulah ia diibaratkan sebagai pengecut.
Cerpenis menghadirkan dialog antara tokoh ‘aku’ dengan lelaki itu. Sebuah perdebatan. Perdebatan yang muncul pada dialog antar tokoh maupun perdebatan batin tokoh. Si tokoh pun acuh tak acuh dengan penjelasan lelaki itu. Muncul sikap kejiwaan manusia di sini. Sikap acuh tak acuh dilandaskan pada kekecewaan atas kejadian dua tahun silam. Seandainya lelaki itu bukan pengecut – jika tidak mau dibilang penghianat – mungkin perampok itu tak jadi menggahinya sebab perlawanan Reza akan menambah masa tunggu atau menghadirkan peluang untuk keselamatan si tokoh. Ada sifat egois terbaca di sini. Sebagai orang yang di rugikan pantas pula tokoh bersikap demikian. Bagaimana tidak, akibat kejadian itu masa depannya hancur. keinginannya menjadi seorang dokter gagal. Ia berhenti sekolah karena di rahimnya tertanam benih perampok itu.
Latar kebenciannya pada lelaki itu bertambah pula dengan paksaan ayahnya yang menikahannya dengan seorang lelaki tempramen yang bersedia menerima kehamilannya. Pada usia pernikahan kelima bulan, lelaki jodohan ayahnya itu malah melarikan sebagian harta warisan yang diberikan ayahnya. Dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, tokoh ‘aku’ membesarkan anaknya seorang diri.
Begitulah rentetan konflik yang dibangun cerpenis dalam cerpenya. Sebagai upaya membangun daya magnit untuk memunculkan emosi sehingga berkesan dan menggugah batin pembaca.
“Mataku berasa pedih. Akh, aku hampir saja menabrak pengendara sepeda motor di depanku. Dalam hati, aku bertekad untuk tidak mengingat lagi hal itu dan pertemuan hari ini. Meski ternyata hingga kini cintaku masih lekat pada lelaki berjaket biru tua yang kutemui hari ini. Reza Andinata”
Paragraf di atas merupakan paragraf akhir cerpen tersebut. Dapat dipahami bahwa meski kebencian memenuhi batin tokoh ‘aku’, ia masih menyimpan kecintaan pada Reza Andinata. Lelaki yang telah mengecewakan dan pengecut itu.
“Jangan pernah lagi bawa masa lalu itu dalam hidupku. Jangan pernah lagi menyatakan cinta karena aku kini sudah menikah.”
Paragraf di atas sebenarnya sebuah kode yang diciptakan cerpenis untuk memberikan isyarat bahwa tokoh ‘aku’ masih memiliki perasaan cinta pada lelaki itu. Kemarahan yang memunculkan ungkapan ‘aku kini sudah menikah’ merupakan isyarat pemutusan harapan lelaki itu yang ingin melamarnya. Sekaligus memberikan isyarat menampik anggapan lelaki itu kalau tokoh ‘aku’ masih memendam cinta untuknya seperti ia memendam cinta. Berlandaskan masa lalu yang begitu memilukan, tokoh ‘aku’ lebih memilih menjalani kehidupannya kini dan mengabaikan cinta yang bersarang di hatinya.
Dapat diartikan sebenarnya cerpen tersebut secara transparan mengusung faham emansipasi perempuan. Bagaimana tidak? Pada bagian awal cerpenis sudah menunjukkan bagaimana kehidupan perempuan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Disambung dengan perjuangannya mempertahankan hidup setelah terjadinya pemerkosaan yang membuatnya hamil. Lalu tentang perjodohan, di mana suaminya itu melarikan harta warisannya. ditambah pula dengan kehadiran lelaki berjaket biru tua itu. Kehadiran yang membuka kenangan pahitnya. Komplit sudah penderitaannya, penderitaan seorang perempuan. Meski demikian, meski perempuan itu dianggap makluk lemah, ia masih bisa menguasai diri. Melangsungkan hidup dan membesarkan anaknya. Anak dari hasil perkosaan.
Syafrizal Sahrun*
Menghadirkan daya magnit dalam sebuah cerita tidak segampang yang dikira. Butuh sebuah keahlian untuk meraciknya sehingga menjadi bahan bacaan yang berkesan sekaligus bermutu. Keahlian yang dimaksud bisa saja hadir sebagai pembawaan diri tapi tidak menutup kemungkinan ia ada dari proses latihan dan ketekunan. Jika keahlian yang datang dari pembawaan diri dan disertai latihan-latihan dan ketekunan alamat karya cipta yang dihasilkan menjadi lebih sempurna.
Membicarakan sebuah cerpen sebagai hasil karya cipta manusia adalah merupakan sebuah penghargaan. Penghargaan yang diberikan pembaca terhadap keberadaannya. Kebaradaannya sebagai bacaan yang dikonsumsi publik dengan latar belakang kehidupan pembaca yang berbeda-beda akan melahirkan kesan atau penafsiran yang berbeda-beda pula. Terlepas dari yang bersifat pujian maupun kritikan itulah bentuk penghargaan, atau yang lebih akrab disebut apresiasi.
Dalam kesempatan ini akan diberikan penghargaan kepada cerpen Lelaki Berjaket Biru Tua karya Mega Yudia. Cerpen tersebut dimuat pada rubrik Art & Cultur Harian Medan Bisnis tanggal 7 September 2014. Cerita dimulai dengan perkenalan tokoh ‘aku’ yang berprofesi sebagai penyiar acara request lagu-lagu di Boss FM. Ia mendapat permintan bertemu dari seorang lelaki yang tidak lain adalah pendengar setianya. Sebenarnya ia malas meladeni permintaan itu, tapi bersebab permintaan itu datang dari orang yang mengaku mengenalnya dan ada hal penting yang ingin di sampaikan, ia pun mengiyakan.
‘Debu vulkanik gunung Sinabung ternyata sudah melanda kota Medan. Dengan segera kusinggahkan diri membeli masker di sebuah apotik terdekat. Aku memang paling anti dengan sakit dan penyakit. Itu sebabnya motto hidupku tak pernah jauh dari “lebih baik miskin tapi sehat daripada kaya tapi sakit-sakitan”’.
Dari paragraf di atas dapat diartikan cerpen ini berlatar di Medan. Medan sebagai sebuah kota yang merasakan dampak erupsi Gunung Sinabung. Sayang, kata Medan hanya dipakai sebagai pinjaman. Pada paragraf tersebut juga terbaca motif nasihat yang mengarahkan pembaca untuk menjaga kesehatan. Kesahatan lebih berharga dari kekayaan.
Tokoh ‘aku’ lebih dahulu sampai di tempat yang dijanjikan untuk bertemu. Dalam keadaan menunggu itu, cerpenis memunculkan keluahan tokoh yang mengatakan: menunggu adalah pekerjaan yang sangat membosankan. Kita pun sepakat mungkin pada pernyataan itu.
Lelaki yang ditunggu muncul. Lelaki itu di gambarkan cerpenis sebagai kunci yang membuka masa lalu tokoh yang menghadirkan konflik. Reza Ardinata namanya. Lelaki yang semasa SMA menggunakan kaca mata tebal. Kaca mata tebal identik dengan kutu buku. Bersebab kekutubukuannya itulah ia diibaratkan sebagai pengecut.
Cerpenis menghadirkan dialog antara tokoh ‘aku’ dengan lelaki itu. Sebuah perdebatan. Perdebatan yang muncul pada dialog antar tokoh maupun perdebatan batin tokoh. Si tokoh pun acuh tak acuh dengan penjelasan lelaki itu. Muncul sikap kejiwaan manusia di sini. Sikap acuh tak acuh dilandaskan pada kekecewaan atas kejadian dua tahun silam. Seandainya lelaki itu bukan pengecut – jika tidak mau dibilang penghianat – mungkin perampok itu tak jadi menggahinya sebab perlawanan Reza akan menambah masa tunggu atau menghadirkan peluang untuk keselamatan si tokoh. Ada sifat egois terbaca di sini. Sebagai orang yang di rugikan pantas pula tokoh bersikap demikian. Bagaimana tidak, akibat kejadian itu masa depannya hancur. keinginannya menjadi seorang dokter gagal. Ia berhenti sekolah karena di rahimnya tertanam benih perampok itu.
Latar kebenciannya pada lelaki itu bertambah pula dengan paksaan ayahnya yang menikahannya dengan seorang lelaki tempramen yang bersedia menerima kehamilannya. Pada usia pernikahan kelima bulan, lelaki jodohan ayahnya itu malah melarikan sebagian harta warisan yang diberikan ayahnya. Dengan segenap kekuatan dan kemampuan yang ada, tokoh ‘aku’ membesarkan anaknya seorang diri.
Begitulah rentetan konflik yang dibangun cerpenis dalam cerpenya. Sebagai upaya membangun daya magnit untuk memunculkan emosi sehingga berkesan dan menggugah batin pembaca.
“Mataku berasa pedih. Akh, aku hampir saja menabrak pengendara sepeda motor di depanku. Dalam hati, aku bertekad untuk tidak mengingat lagi hal itu dan pertemuan hari ini. Meski ternyata hingga kini cintaku masih lekat pada lelaki berjaket biru tua yang kutemui hari ini. Reza Andinata”
Paragraf di atas merupakan paragraf akhir cerpen tersebut. Dapat dipahami bahwa meski kebencian memenuhi batin tokoh ‘aku’, ia masih menyimpan kecintaan pada Reza Andinata. Lelaki yang telah mengecewakan dan pengecut itu.
“Jangan pernah lagi bawa masa lalu itu dalam hidupku. Jangan pernah lagi menyatakan cinta karena aku kini sudah menikah.”
Paragraf di atas sebenarnya sebuah kode yang diciptakan cerpenis untuk memberikan isyarat bahwa tokoh ‘aku’ masih memiliki perasaan cinta pada lelaki itu. Kemarahan yang memunculkan ungkapan ‘aku kini sudah menikah’ merupakan isyarat pemutusan harapan lelaki itu yang ingin melamarnya. Sekaligus memberikan isyarat menampik anggapan lelaki itu kalau tokoh ‘aku’ masih memendam cinta untuknya seperti ia memendam cinta. Berlandaskan masa lalu yang begitu memilukan, tokoh ‘aku’ lebih memilih menjalani kehidupannya kini dan mengabaikan cinta yang bersarang di hatinya.
Dapat diartikan sebenarnya cerpen tersebut secara transparan mengusung faham emansipasi perempuan. Bagaimana tidak? Pada bagian awal cerpenis sudah menunjukkan bagaimana kehidupan perempuan mencari uang untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Disambung dengan perjuangannya mempertahankan hidup setelah terjadinya pemerkosaan yang membuatnya hamil. Lalu tentang perjodohan, di mana suaminya itu melarikan harta warisannya. ditambah pula dengan kehadiran lelaki berjaket biru tua itu. Kehadiran yang membuka kenangan pahitnya. Komplit sudah penderitaannya, penderitaan seorang perempuan. Meski demikian, meski perempuan itu dianggap makluk lemah, ia masih bisa menguasai diri. Melangsungkan hidup dan membesarkan anaknya. Anak dari hasil perkosaan.
Percut, 2014
_______________________________
Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).