SETIBANYA di rumah, air muka Baihaqi keruh. Apa pasal? Apalagi kalau bukan karena aduan istrinya perihal kedatangan tamu lepas asar tadi. Lama Baihaqi terpaku. Ia mengais janggutnya dengan jemari, seolah hendak melacak jawaban. Namun, ia tetap tak kuasa membebaskan diri dari sandera pertanyaan: mengapa Ujang Pelor bertamu ke rumahnya?
Hasan Al Banna*
Ujang Pelor! Sejak kanak tumbuh di jalanan. Keluar masuk penjara, makanannya. Sebutir peluru pernah menembus rahangnya, tapi nyawa serap menyelamatkannya. Riwayat luka tembak itu yang mengantarnya dijuluki Ujang Pelor, sampai akhirnya dinobatkan sebagai preman yang ditakuti.
Selang beberapa masa, Ujang Pelor menjelma The Godfather yang dikenal sebagai bandar judi togel—toto gelap di kota itu. Ehem, sudahlah, tak usah digunjingkan mengapa pisau hukum, juga palu fatwa tak pernah mempan menyetop bisnisnya. Hampir tak ada yang bernyali merecoki Ujang Pelor. Pun Baihaqi, serupa pemuka agama lainnya, memilih tak berurusan dengan Ujang Pelor. Tapi urusan apa Ujang Pelor mencari Baihaqi?
Jalan pikiran Baihaqi buntu. Kumandang azan magrib tak mengguitnya untuk bergegas bersuci, hingga mustahil menunaikan sembahyang jemaah di masjid kompleks yang tak jauh dari kediamannya.
“Magrib dulu abi,” sela istrinya, Salmah, yang sudah bermukena, “Tadi Ujang Pelor berpesan, bakda isya datang lagi.”
“Mmh…” Baihaqi yang dipanggil abi oleh istrinya kehilangan kesigapan untuk beribadah.
“Abi…”
“Ya, umi,” Baihaqi tersentak.
“Ayo jemaah!” desak Salmah. Baihaqi berupaya menawar kegalauan dengan tersenyum. Namun, kekhusyukan ibadahnya terus ditohok kegalauan.
* * *
“Abang harap adinda mau,” derak suara Ujang Pelor seperti wujud intimidasi. Baihaqi menarik napas, hati-hati. “Berapa pun adinda minta, gampang.”
“Abang kok pilih aku?”
“Bah, itulah. Ustaz Tajuddin tak bisa. Ustaz Bambang juga. Lalu, ustaz.., mmh…” Ujang Pelor lama terhenti, “Hah, ustaz yang dosen itu… Alah, siapa pula namanya itu…”
“Ustaz Idrus,” salip Baihaqi.
“Ha, iya! Tapi sibuk dia katanya.”
“Mmh…” Baihaqi mengangguk-angguk. Ujang Pelor menyalakan rokok. Asapnya mengebu-gebu.
“Jadi, bisa?” cecar Ujang Pelor usai mulutnya mengepulkan asap.
“Diminum dulu tehnya, bang.” Baihaqi tengah mencari cara menampik Ujang Pelor. Seturut itu, ia juga sedang kewalahan mengejar alasan mengapa Ujang Pelor berubah drastis. Memang, sudah lama desas-desus beredar, katanya Ujang Pelor tak mengurusi bisnis judi lagi. Katanya lagi, Ujang Pelor kini mengelola restoran. Kabar lain berhembus, ia sibuk mengurus lahan sawit. Namun Baihaqi tak mau ambil pusing. Yang penting, bagaimana sedapat mungkin ia tak berurusan dengan Ujang Pelor.
“Abang mau berubah, adinda. Maklum, sudah kepala lima. Gini-gini, takut juga abang masuk neraka, ah.” Ujang Pelor tertawa. Sementara lawan bicaranya makin tak nyaman.
“Kasih aku waktu satu-dua hari untuk cari waktu yang pas, bang.”
“Boleh, tapi jangan lama-lama, adinda. Ya, tak bisa tiga-empat kali seminggu, dua kali seminggu cocoklah itu, heh!” ujar Ujang Pelor mantap, bagai dapat kata sepakat.
Ujang Pelor pamit, tapi tak serta-merta meringankan beban pikiran Baihaqi. Jujur, selain mewakafkan diri dalam ibadah, ia butuh dana menyambut kelahiran anak keduanya. Belum lagi anak sulungnya, Syifa, segera masuk TK. Tawaran Ujang Pelor bisa jadi solusi. Tapi… Ah, ia terjebak diskusi alot dengan diri sendiri, juga dengan istrinya. Sebagai ustaz muda, Baihaqi merasa perlu mengutip saran. Ia temui sejumlah sejawat dan para tuan guru. Jawaban yang ia terima seragam: demi kebaikan, abaikan! Alhasil, Baihaqi mengangguk untuk mengabaikan Ujang Pelor. Tapi bernama apa abaian kalau toh ia pergi juga ke rumah Ujang Pelor?
“Terima kasih, adinda!” pekik Ujang Pelor.
“Tapi ada syaratnya, bang.”
“Soal bayaran? Jangan khawatir.”
“Bukan itu, bang.”
“Jadi?”
Baihaqi pun menyodorkan syarat. Ujang Pelor terperanjat. Dengan nada menancam, Ujang Pelor menolak mentah-mentah.
“Kalau tak mau, tak apa. Abang carilah ustaz lain.” Entah dari mana muasal keberanian Baihaqi hingga berbalik mengancam.
“Ustaz aneh…” gerutu Ujang Pelor.
“Preman aneh,” desis Baihaqi, pelan.
* * *
Ujang Pelor dilanda perangah! Apa-apaan ini? Meski geli dengan tampilannya sendiri; bersarung, berkoko putih dengan kopiah sempit di kepala, tapi Ujang Pelor limbung juga menyambut Baihaqi. Ya, Baihaqi muncul dengan celana jeans dongker dan kaos ketat abu-abu. Tangan kanannya menjinjing tas dompet. Ei, kepala Baihaqi kehilangan peci! Lalu, kenapa pula setangkup janggut tanggal dari dagunya?
“Gantian kita, bang.” sergap Baihaqi menyerobot keterperangahan calon muridnya.
“Apa abang salah pilih ustaz?” Ujang Pelor bercanda pada dirinya sendiri.
“Abang sudah siap?” todong Baihaqi. Sedang calon muridnya masih juga terperangah.
Sebenarnya, bukan Ujang Pelor saja yang disembelih keheranan. Salmah tak kalah uring-uringan. Bagaimana tidak? Tanpa disangka, Baihaqi menerima tawaran Ujang Pelor. Pakai persyaratan yang tak menguntungkan pula. Meski suaminya panjang lebar menjelaskan alasan, Salmah tetap berat hati. Lebih-lebih kala suaminya secara sepihak mundur sebagai penceramah di pengajian ibu-ibu, saban malam kamis. Yang bikin Salmah tambah sewot, ia ketua perkumpulan pengajian itu. Apa boleh buat. Baihaqi sudah bertekad akan ke rumah Ujang Pelor dua kali seminggu bakda isya. Malam senin Baihaqi tak punya jadwal. Maka, malam kamis ia tetapkan untuk memenuhi kuota tekadnya. Keputusan itu bikin Salmah kesal, “Semua berantakan gara-gara Ujang Pelor!”
Namun, Baihaqi tetap teguh. Keteguhan macam apa hingga entah dengan alasan apa lagi, tiba-tiba ia berpenampilan necis saat berangkat ke rumah Ujang Pelor? Salmah hilang akal. Memang, suaminya tampak lebih tampan, tapi tidak lantas ia ikhlas suaminya melorotkan ciri khas keustazan. Salmah protes, tapi senyum Baihaqi dan kado kecupan di dahi bikin ia luluh. Suaminya tak tertegah. Kalau ya, manalah mungkin Baihaqi berada di ruang tamu Ujang Pelor malam itu. Malam perdana ia memiliki murid baru, Ujang Pelor…
* * *
Jeans dongker dan kaos ketat abu-abu jadi seragam rutin Baihaqi. Malam senin, malam kamis. Malam senin, malam kamis. Baihaqi begitu sabar menjalani malam-malam membimbing Ujang Pelor mengaji. Hanya kesabaran yang menguatkan Baihaqi untuk melunakkan lidah muridnya mengeja huruf-huruf quran. Meski kadang, ia mengumpat juga: mending mengajari anak kecil!
Selain itu, rasa sesal atas syarat yang ia bikin sendiri kerap pula menyerbu batinnya. Namun, ia harus menangkis penyesalan sambil terus merawat kesabaran. Kesabaran seperti apa lagi?
Entahlah, kalau saja ia menurutkan kesal hati, ingin saja ia tinggalkan Ujang Pelor. Bayangkan, sudahlah terbata setengah mati mengeja, eh, mulut Ujang Pelor kerap pula meletuskan sendawa. Yang bikin Baihaqi meradang, bau bir yang menyusul sendawa. Satu-dua kali pertemuan, Baihaqi masih toleransi, tapi pada entah pertemuan keberapa, ia angsur juga teguran.
“Masih mabuk abang, ya?”
“Banyak pun minum bir, tak kan mabuk abang, adinda.”
“Jadi untuk apa abang minum?”
“Haus.”
“Mmh…”
“Mabuk itu haram kan, adinda?”
“Ya!”
“Abang kan tak mabuk. Minum bir, iya.”
Baihaqi merasa dipermainkan. Wajahnya melepuh, tapi masih ia coba mengganjal amarah.
“Begini saja, bang. Kalau abang masih sendawa, aku berhenti!” geraham Baihaqi berderam. Ujang Pelor merasa tersudut.
“Tapi kalau malam ini, tak mungkin sendawa bisa berhenti. Soalnya tadi, entah nyekek berapa botol,” jawab Ujang Pelor dengan kekeh yang sumir. Baihaqi mengurut dada, beristigfar. Sabar, sabar, anjurnya ke diri sendiri. Pelajaran mengaji pun dilanjutkannya meski tak sepenuh hati.
Tapi, ancaman Baihaqi manjur. Di malam-malam berikutnya, sendawa Ujang Pelor tak meletus lagi. Lidah Ujang Pelor memang tak kunjung serasi melafalkan huruf-huruf quran, tapi paling tidak, sendawa tak lagi menyela. Kendati demikian, sesekali, bau mulut Ujang Pelor masih meniupkan uap bir. Tak apa, mengubah kebiasaan tak mudah, begitu bisikan—entah siapa—yang bersarang ke telinga Baihaqi. Tapi ancaman baru ia maklumatkan: Kalau masih ada bau bir di mulut abang, aku betul-betul berhenti. Alhamdulillah, beres! Pada pertemuan selanjutnya, mulut Ujang Pelor negatif dari bau minuman.
Namun, pernah suatu malam, selepas pelajaran, Baihaqi hampir kalap. Ya, kala ia hendak beranjak dari duduknya, kakinya memelantingkan sesuatu di bawah meja. Suara gelinding botol terdengar nyaring, disusul mekar aroma bir. Bahkan, sisa bir rupanya sudah simbah di kaki celana jeans Baihaqi. Seketika rona marah membekap wajahnya.
“Ma…af, adinda. Abang tak tahu itu bir siapa. Adinda tengok tadi kan, abang tak sendawa lagi, mulut abang pun tak bau bir…” Ujang Pelor menghiba sambil mengelap celana Baihaqi dengan tangan. Baihaqi mematung. Marah ya, serba salah juga. Ia merasa tak patut membiarkan Ujang Pelor berlutut. Bukankah Ujang Pelor lebih pantas sebagai ayah ketimbang abang? Maka Baihaqi batal kalap, meski mungkin, Ujang Pelor berbohong soal bir di bawah meja.
Begitulah. Ada saja peristiwa yang harus dihadapi Baihaqi sejak bersinggungan dengan Ujang Pelor. Ia pun harus tabah menanggungkan gunjingan. Para tetangga di kompleks sempat memedaskan telinganya. Ia digelar ustaz mata duitan. Senada dengan tudingan sejawatnya sesama penceramah atau guru mengaji. Seperti pada sebuah malam di jenjang masjid, lepas isya berjemaah, ia sempat merasa diinterogasi.
“Ana masih tak habis pikir, apa dasar antum meladeni Ujang Pelor,” ujar Mara, rekannya semasa menimba ilmu di Mesir, “Masih banyak umat yang layak diislamkan, Bai.” tambah Mara.
“Iya,” timpal Bram, masih muda, tapi sudah hafiz quran, “Kan tak enak kalau ada bilang ‘percuma tamatan Mesir, punya titel el-si’. Timbang lagi masak-masak, saudaraku.”
Baihaqi tersenyum. Sebenarnya, kerongkongannya ingin memuntahkan banyak hal. Tapi ia sedang tak selera membela diri. Tepatnya, malas berdebat.
“Oya, kemarin Pak Darwin, itu yang anggota dewan butuh orang mengajari anaknya baca quran. Nah, ambil itu, lepaskan Ujang Pelor.” kali ini Bram unjuk suara lagi.
“Ya, kalau soal imbalan, ana kira Pak Darwin tak pelit, insha Allah,” songsong Mara.
“Tahu berapa Pak Darwin kasih harga, ha?” cecar Bram dengan mata berbinar, lalu mendekatkan mulutnya ke telinga Baihaqi, “Pukulan besar, Bai!” lonjak Bram, “Mmh… Ujang Pelor kasih berapa, hayo?”
“Iya, Ujang Pelor kasih berapa, Bai?” desak Mara.
“Berlipat ganda dari yang ditawarkan Pak Darwin,” jawab Baihaqi setengah berbisik. Kontan dua sejawatnya toleh-menoleh. Hening menggelinding. Baihaqi buru-buru melafaz salam bukti pamit diri. Ini malam kamis! Ia harus segera pulang, menukar pakaian, lantas ke rumah Ujang Pelor. Ia tak sudi Ujang Pelor menunggu lama. Dalam langkah setengah berlari, wajah Baihaqi bak kembang berseri.
Entahlah, baru kali ini Baihaqi merasa bahagia usai berbohong…
Griya Sakinah-Medan, 2012
__________________________________
Hasan Al Banna. Lahir di Padang Sidimpuan, Sumut, 3 Desember 1978. Bekerja di Balai Bahasa Sumatera Utara. Karyanya berupa puisi, cerpen, esai sastra telah terbit di media lokal dan nasional. Cerpen-cerpennya telah dibukukan dengan judul "Sampan Zulaiha".
(Artikel di atas telah terbit pertama kali di Jawa Pos, 4 Maret 2012)