PENGARANG sebagai produktor sebuah karya bukanlah orang gila yang memproduksi karya dengan semau hati tanpa memikirkan efek dari karyanya. Pengarang ialah orang jenius yang mampu mengolah sebuah kejadian dengan memasukan pemikiran-pemikiran serta pendapat-pendapatnya, kemudian dijadikan sebuah cerita yang menarik, menghibur hingga mempengaruhi batin pembaca.
Dalam menulis karyanya, pengarang tidak berangkat dari kekosongan budaya. Pastilah dalam membuat sebuah karya ia dipengaruhi oleh apa yang pernah ia baca, apa yang pernah ia alami, atau apa yang pernah ia saksikan. Kemudian hal itu diolah dalam pemikirannya, lalu dituangkan dalam sebuah karya. Apakah hal yang mendasari itu mau ia lawan atau dibenarkan terserah kepada pengarang.
Berdasakan pengaruh itu pasti dapat dijumpai hubungan-hubungan antara yang mempengaruhi (hipogram) dengan yang dipengaruhi. Baik persamaan atau pertentangannya. Hubungan itu dapat dilihat dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Untuk membandingkan karya sastra dengan mencari persamaan atau pertentangannya biasa digunakan teori intertekstual.
Julia Kristeva mendefenisikan intertekstual sebagai sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lain. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami tidak berdiri sendiri. Suatu teks disusun dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain (wikipedia).
Cerpen Ustaz karya S. Othman Kelantan (Dewan Sastra, Februari 1980) dengan cerpen Kebohongan Ustaz Baihaqi karya Hasan Al Banna (Jawa Pos, 4 Maret 2012) pantas rasanya untuk dibicarakan mengenai hubungannya. Kedua cerpen itu memiliki persamaan, baik dari unsur intrinsik dan mungkin unsur ekstrinsik yang membentuknya. Apalagi kedua cerpen tersebut dari negara yang berbeda dan dalam rentang waktu jauh berbeda pula. Cerpen pertama terbit di Malaysia dan ditulis oleh sastrawan negaranya, sedangkan cerpen kedua terbit di Indonesia dan ditulis oleh sastrawan negaranya.
Setelah membaca kedua cerpen itu, saya menduga cerpen “Ustaz” merupakan hipogram cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”. Mengapa demikian? Alasannya mudah, karena cerpen “Ustaz” lebih dulu ada. Sebagai sastrawan yang tidak hanya menulis tapi membaca, saya berprasangkan bahwa Hasan Al Banna pernah membaca cerpen karya S. Othman Kelantan yang dibicarakan. Dari proses membaca itu, Hasan terinspirasi menulis cerpen beride sama, tapi dengan cara yang berbeda atau disesuaikan dengan kondisi zamannya. Mari saya tunjukkan persamaan-persamaan yang mendasari dugaan saya itu.
Pada kedua judul cerpen itu terdapat kata ustaz. Ada apa dengan ustaz? Ustaz diartikan sebagai orang yang menguasai ilmu keislaman dan mendakwahkannya kepada masyarakat. Sebagai pendakwah, ustaz akan menjadi teladan bagi masyarakat. Bagaimana pula jika seorang ustaz berbohong? Sementara bohong sebuah sifat membawa dosa? Kedua cerpen itu membicarakan tentang kebohongan ustaz. Itulah dasar dugaan saya.
Cerpen “Ustaz” dibuka dengan deskripsi batin Ustaz Saifuddin – si tokoh utama – menghadapi Siti Nuriza, seorang gadis belia mempesona dan menggairahkan yang akan menjadi muridnya mengaji. Gadis itu diibaratkan bak anak kijang yang melompat-lompat di suatu taman yang entah di mana, alangkah manisnya ia. Alangkah hidupnya ia. Alangkah! Ustaz Saifuddin tau bahwa ia akan tergoda dengan pesona dan gairah Siti Nuriza, tapi bagaiman ia harus menolak, sementara sebagai seorang ustaz sudah menjadi kewajibannya untuk memulihkan keuzuran sekelompok otak di sebuah rumah besar keluarga ternama. Bersebab kewajiban itu, Ustaz Saifuddin pun menerima tawaran mengajar.
Begitu juga dengan cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”. Cerpen itu dibuka dengan deskripsi batin Ustaz Baihaqi – tokoh utama – memaknai kedatangan Ujang Pelor yang mencarinya ke rumah. Ujang Pelor seorang preman yang ditakuti. Ia juga dikenal sebagai bandar togel – toto gelap di kota kediaman Baihaqi. Mau apa preman itu mencari Baihaqi? Hal itu yang menjadi pertentangan di dalam batin tokoh utama. Ternyata Ujang Pelor menginginkan ustaz itu untuk mengajarinya mengaji. Baihaqi akhirnya mengiyakan permintaan Ujang Pelor setelah banyak berkelit sebagai usaha untuk menolak.
Di samping judul cepen, cara kedua pengarang dalam membuka cerpennya juga memiliki kemiripan. Tokoh utama dalam kedua cerpen dihadapkan pada permintaan yang sama, yaitu diajari mengaji. Di balik itu tokoh utama ingin menghindar dari permintaan itu karena alasan latar belakang orang yang akan menjadi muridnya. Pada akhirnya si ustaz sebagai tokoh utama menerima permintaan itu juga.
Persamaan selanjutnya terletak pada penanjakan alur. Untuk menguji kesabaran tokoh utama, kedua pengarang menghadirkan cobaan-cobaan. Pada cerpen “Ustaz”, S. Othman Kelantan meramu sebuah permasalahan yang menggoda iman seorang ustaz. Kebiasaan Siti Nuriza mengenakan pakaian yang memperlihatkan auratnya membuat seorang ustaz bak dihadapkan pada buah simalakama. Sebagai seorang jejaka, wajar ia tergoda wajah dan tubuh seorang perempuan. Semakin hari perempuan yang menjadi muridnya itu mengancurkan hatinya. Dia menganggap keberadaan mereka dapat mengakibatkan dosa karena hawa nafsu di dadanya terus bergolak. Tambah pula muridnya itu memberi peluang untuk hadirnya rasa cinta. Bak dayung bersambut. Menyadari siapa dirinya, Saefuddin terpaksa memilih tidak mengajar lagi dengan membuat suatu kebohongan. Ia meminta izin kepada Datuk Jalal Akbar – ayah Siti Nuriza yang dulu memintanya mengajar – untuk tidak mengajar anak-anaknya lagi kerena akan dikirim ke Pahang. Untuk menggantikan dirinya, ia sudah menyiapkan pengganti.
Kebohongan yang dilakukan Saefuddin dijadikan sebagai usaha untuk menghindarkan dirinya dari dosa nafsunya terhadap muridnya itu, begitu juga sebaliknya. Apalagi muridnya itu sudah memberikan ruang untuk berseminya cinta antara guru dan murid. Kebohongan itulah yang dianggap sebagai jalan keluar dari dosa yang meninabobokkan. Ibarat keluar dari mulut singa masuk kemulut harimau, begitulah dosa yang memerangkap manusia. Tapi bagaimanapun kebohongan yang dilakukan Saefuddin adalah pilihannya yang paling baik.
Disamping itu, pada Cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”, Hasan Al Banna juga menghadirkan cobaan kepada tokoh utama. Saat mengaji, mulut Ujang Pelor masih mengeluarkan bau Bir. Kebiasaannya itu sulit ia lepaskan. Bir bagi Ujang Pelor sama seperti minuman biasa. Bagaimana pula orang yang membaca kitab suci tapi dalam pengaruh Bir? Suatu hal yang tak lazim. Menghadapi hal itu, Baihaqi mengalami konflik batin. Ia terpaksa memberikan sanksi-sanksi pada muridnya itu.
Bersebab jadi guru mengaji preman itu, Baihaqi dihadapkan pada pertanyaan temannya semasa kuliah di Mesir. Mereka menyarankan Baihaqi untuk meninggalkan Ujang Pelor dan menerima permintaan Pak Darwin – anggota dewan – untuk mengajari anaknya mengaji. Dalam dialog itu ada hal yang tidak menyenangkan Baihaqi, yaitu pertanyaan tentang upah mengajar yang diterimanya dari Ujang Pelor. “Pak Darwin bisa memberikan upah yang banyak.” Rayu temanya, tapi baginya itu merupakan sindiran. Dalam hal itu seolah Baihaqi mengajar mengaji hanya karena upah. Ia merasa dihinakan. Untuk mematahkan pembicaraan itu, Ia mengatakan bahwa upah yang didapatnya berlipat-lipat dari ditawarkan Pak Darwin. Sama seperti kebohongan pada cerpen pertama, kebohongan yang dilakukan Baihaqi juga sebagai upaya keluar dari masah tetekbengek kehidupan.
Persaman-persamaan itu semula bagi saya sangat kuat untuk mengatakan cerpen pertama merupakan hipogram dari cerpen kedua. Lantas bukan berarti saya mengatakan bahwa Hasan Al Banna telah mencontek cerpen karya S. Othman Kelantan. Mengenang pendapat Pradopo yang mengatakan bahwa sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja demikian (hipogram) dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasinya, wawasan estetiknya, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karyanya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali.
Dengan dasar telah membaca cerpen “Ustaz”, maka setelah membaca cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi” maka kita dapat mengenali kemiripan hubungan dari kedua cerpen itu. Bisa jadi kita menduga Hasan Al Banna pernah membaca cerpen “Ustaz karya” S. Othman Kelantan yang terbit jauh lebih awal dari cerpen yang dikarangnya. Dari pembacaan itu ia memperoleh insprasi untuk mengambil ide dari cerpen yang ia baca, kemudian menciptakan cerpen yang baru dengan bentuk yang berbeda tapi rasanya sama. Ustaz dan kebohongan suatu hal yang bertolak belakang. Ketaklaziman itulah mungkin yang menjadi daya tarik Hasan Al Banna menciptakan cerpen beride sama tapi dikemas dalam balutan yang berbeda.
Bisa juga anggapan itu salah. Mengapa? S. Othman Kelantan yang hidup dalam lingkungan Islam Malaysia, menyerap keadaan lingkungannya yang islamis itu. Lalu muncul dalam pemikirannya memadukan seorang ustaz dengan kebohongan sebagai sebuah sifat untuk dijadikan sebuah karya. Begitu juga dengan Hasan Al Banna. Ia juga hidup dalam lingkungan Islam Indonesia. Ia juga dipertemukan dengan ustaz dan segala permasalahannya. Dengan menangkap permasalahan itu lahirlah ide yang membicarakan hubungan ustaz dan kebohongan.
Untuk menuntaskan prasangka saya, sempat saya bertanya kepada Hasan Al Banna mengenai keterpengaruhannya terhadap sumber bacaan lain dalam menciptakan cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”. Ia menjawab bahwa tidak terpengaruh dari bacaan lain melainkan ide cerita yang demikian ia dapat dari imaji yang bertolak dari sekelilingnya.
Dapat disimpulkan bahwa cerpen yang dihasilkan Hasan Al Banna tidak bersumber dari cerpen yang dikarang oleh S. Othman Kelantan. Meskipun ada kemiripan, tapi tidak ada pengaruh dari cerpen sebelumnya. Hasan Al Banna, mungkin juga S. Othman Kelantan menjeput ide dari keadaan sekelilingnya yang memiliki kesamaan, yaitu lingkungan masyarakat Islam. Jadi kemiripan unsur intrinsik yang terdapat pada kedua cerpen yang beralur maju itu tidak semata-mata bersumber dari teks tertulis yang ada sebelumnya, bisa jadi diperoleh dari teks yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Bila mengenang ungkapan yang menyatakan bahwa suatu teks baru muncul didasari dari teks-teks yang mendahuluinya, kita bisa saja menolak bila kita memahami teks yang dimaksud sekadar apa yang ditulis. Tapi bila teks juga diartikan sebagai cerita tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat kita bisa bersepakat dengan ungkapan itu.
______________________________________
Syafrizal Sahrun*
Dalam menulis karyanya, pengarang tidak berangkat dari kekosongan budaya. Pastilah dalam membuat sebuah karya ia dipengaruhi oleh apa yang pernah ia baca, apa yang pernah ia alami, atau apa yang pernah ia saksikan. Kemudian hal itu diolah dalam pemikirannya, lalu dituangkan dalam sebuah karya. Apakah hal yang mendasari itu mau ia lawan atau dibenarkan terserah kepada pengarang.
Berdasakan pengaruh itu pasti dapat dijumpai hubungan-hubungan antara yang mempengaruhi (hipogram) dengan yang dipengaruhi. Baik persamaan atau pertentangannya. Hubungan itu dapat dilihat dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Untuk membandingkan karya sastra dengan mencari persamaan atau pertentangannya biasa digunakan teori intertekstual.
Julia Kristeva mendefenisikan intertekstual sebagai sebuah pendekatan untuk memahami sebuah teks sebagai sisipan dari teks-teks lain. Intertekstual juga dipahami sebagai proses untuk menghubungkan teks dari masa lampau dengan teks masa kini. Suatu teks dipahami tidak berdiri sendiri. Suatu teks disusun dari kutipan-kutipan atau sumber-sumber teks lain (wikipedia).
Cerpen Ustaz karya S. Othman Kelantan (Dewan Sastra, Februari 1980) dengan cerpen Kebohongan Ustaz Baihaqi karya Hasan Al Banna (Jawa Pos, 4 Maret 2012) pantas rasanya untuk dibicarakan mengenai hubungannya. Kedua cerpen itu memiliki persamaan, baik dari unsur intrinsik dan mungkin unsur ekstrinsik yang membentuknya. Apalagi kedua cerpen tersebut dari negara yang berbeda dan dalam rentang waktu jauh berbeda pula. Cerpen pertama terbit di Malaysia dan ditulis oleh sastrawan negaranya, sedangkan cerpen kedua terbit di Indonesia dan ditulis oleh sastrawan negaranya.
Setelah membaca kedua cerpen itu, saya menduga cerpen “Ustaz” merupakan hipogram cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”. Mengapa demikian? Alasannya mudah, karena cerpen “Ustaz” lebih dulu ada. Sebagai sastrawan yang tidak hanya menulis tapi membaca, saya berprasangkan bahwa Hasan Al Banna pernah membaca cerpen karya S. Othman Kelantan yang dibicarakan. Dari proses membaca itu, Hasan terinspirasi menulis cerpen beride sama, tapi dengan cara yang berbeda atau disesuaikan dengan kondisi zamannya. Mari saya tunjukkan persamaan-persamaan yang mendasari dugaan saya itu.
Pada kedua judul cerpen itu terdapat kata ustaz. Ada apa dengan ustaz? Ustaz diartikan sebagai orang yang menguasai ilmu keislaman dan mendakwahkannya kepada masyarakat. Sebagai pendakwah, ustaz akan menjadi teladan bagi masyarakat. Bagaimana pula jika seorang ustaz berbohong? Sementara bohong sebuah sifat membawa dosa? Kedua cerpen itu membicarakan tentang kebohongan ustaz. Itulah dasar dugaan saya.
Cerpen “Ustaz” dibuka dengan deskripsi batin Ustaz Saifuddin – si tokoh utama – menghadapi Siti Nuriza, seorang gadis belia mempesona dan menggairahkan yang akan menjadi muridnya mengaji. Gadis itu diibaratkan bak anak kijang yang melompat-lompat di suatu taman yang entah di mana, alangkah manisnya ia. Alangkah hidupnya ia. Alangkah! Ustaz Saifuddin tau bahwa ia akan tergoda dengan pesona dan gairah Siti Nuriza, tapi bagaiman ia harus menolak, sementara sebagai seorang ustaz sudah menjadi kewajibannya untuk memulihkan keuzuran sekelompok otak di sebuah rumah besar keluarga ternama. Bersebab kewajiban itu, Ustaz Saifuddin pun menerima tawaran mengajar.
Begitu juga dengan cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”. Cerpen itu dibuka dengan deskripsi batin Ustaz Baihaqi – tokoh utama – memaknai kedatangan Ujang Pelor yang mencarinya ke rumah. Ujang Pelor seorang preman yang ditakuti. Ia juga dikenal sebagai bandar togel – toto gelap di kota kediaman Baihaqi. Mau apa preman itu mencari Baihaqi? Hal itu yang menjadi pertentangan di dalam batin tokoh utama. Ternyata Ujang Pelor menginginkan ustaz itu untuk mengajarinya mengaji. Baihaqi akhirnya mengiyakan permintaan Ujang Pelor setelah banyak berkelit sebagai usaha untuk menolak.
Di samping judul cepen, cara kedua pengarang dalam membuka cerpennya juga memiliki kemiripan. Tokoh utama dalam kedua cerpen dihadapkan pada permintaan yang sama, yaitu diajari mengaji. Di balik itu tokoh utama ingin menghindar dari permintaan itu karena alasan latar belakang orang yang akan menjadi muridnya. Pada akhirnya si ustaz sebagai tokoh utama menerima permintaan itu juga.
Persamaan selanjutnya terletak pada penanjakan alur. Untuk menguji kesabaran tokoh utama, kedua pengarang menghadirkan cobaan-cobaan. Pada cerpen “Ustaz”, S. Othman Kelantan meramu sebuah permasalahan yang menggoda iman seorang ustaz. Kebiasaan Siti Nuriza mengenakan pakaian yang memperlihatkan auratnya membuat seorang ustaz bak dihadapkan pada buah simalakama. Sebagai seorang jejaka, wajar ia tergoda wajah dan tubuh seorang perempuan. Semakin hari perempuan yang menjadi muridnya itu mengancurkan hatinya. Dia menganggap keberadaan mereka dapat mengakibatkan dosa karena hawa nafsu di dadanya terus bergolak. Tambah pula muridnya itu memberi peluang untuk hadirnya rasa cinta. Bak dayung bersambut. Menyadari siapa dirinya, Saefuddin terpaksa memilih tidak mengajar lagi dengan membuat suatu kebohongan. Ia meminta izin kepada Datuk Jalal Akbar – ayah Siti Nuriza yang dulu memintanya mengajar – untuk tidak mengajar anak-anaknya lagi kerena akan dikirim ke Pahang. Untuk menggantikan dirinya, ia sudah menyiapkan pengganti.
Kebohongan yang dilakukan Saefuddin dijadikan sebagai usaha untuk menghindarkan dirinya dari dosa nafsunya terhadap muridnya itu, begitu juga sebaliknya. Apalagi muridnya itu sudah memberikan ruang untuk berseminya cinta antara guru dan murid. Kebohongan itulah yang dianggap sebagai jalan keluar dari dosa yang meninabobokkan. Ibarat keluar dari mulut singa masuk kemulut harimau, begitulah dosa yang memerangkap manusia. Tapi bagaimanapun kebohongan yang dilakukan Saefuddin adalah pilihannya yang paling baik.
Disamping itu, pada Cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”, Hasan Al Banna juga menghadirkan cobaan kepada tokoh utama. Saat mengaji, mulut Ujang Pelor masih mengeluarkan bau Bir. Kebiasaannya itu sulit ia lepaskan. Bir bagi Ujang Pelor sama seperti minuman biasa. Bagaimana pula orang yang membaca kitab suci tapi dalam pengaruh Bir? Suatu hal yang tak lazim. Menghadapi hal itu, Baihaqi mengalami konflik batin. Ia terpaksa memberikan sanksi-sanksi pada muridnya itu.
Bersebab jadi guru mengaji preman itu, Baihaqi dihadapkan pada pertanyaan temannya semasa kuliah di Mesir. Mereka menyarankan Baihaqi untuk meninggalkan Ujang Pelor dan menerima permintaan Pak Darwin – anggota dewan – untuk mengajari anaknya mengaji. Dalam dialog itu ada hal yang tidak menyenangkan Baihaqi, yaitu pertanyaan tentang upah mengajar yang diterimanya dari Ujang Pelor. “Pak Darwin bisa memberikan upah yang banyak.” Rayu temanya, tapi baginya itu merupakan sindiran. Dalam hal itu seolah Baihaqi mengajar mengaji hanya karena upah. Ia merasa dihinakan. Untuk mematahkan pembicaraan itu, Ia mengatakan bahwa upah yang didapatnya berlipat-lipat dari ditawarkan Pak Darwin. Sama seperti kebohongan pada cerpen pertama, kebohongan yang dilakukan Baihaqi juga sebagai upaya keluar dari masah tetekbengek kehidupan.
Persaman-persamaan itu semula bagi saya sangat kuat untuk mengatakan cerpen pertama merupakan hipogram dari cerpen kedua. Lantas bukan berarti saya mengatakan bahwa Hasan Al Banna telah mencontek cerpen karya S. Othman Kelantan. Mengenang pendapat Pradopo yang mengatakan bahwa sebuah teks kesastraan yang dihasilkan dengan kerja demikian (hipogram) dapat dipandang sebagai karya yang baru. Pengarang dengan kekuatan imajinasinya, wawasan estetiknya, dan horison harapannya sendiri, telah mengolah dan mentransformasikan karya-karya lain ke dalam karyanya sendiri. Namun, unsur-unsur tertentu dari karya-karya lain tersebut, yang mungkin berupa konvensi, bentuk formal tertentu, gagasan, tentulah masih dapat dikenali.
Dengan dasar telah membaca cerpen “Ustaz”, maka setelah membaca cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi” maka kita dapat mengenali kemiripan hubungan dari kedua cerpen itu. Bisa jadi kita menduga Hasan Al Banna pernah membaca cerpen “Ustaz karya” S. Othman Kelantan yang terbit jauh lebih awal dari cerpen yang dikarangnya. Dari pembacaan itu ia memperoleh insprasi untuk mengambil ide dari cerpen yang ia baca, kemudian menciptakan cerpen yang baru dengan bentuk yang berbeda tapi rasanya sama. Ustaz dan kebohongan suatu hal yang bertolak belakang. Ketaklaziman itulah mungkin yang menjadi daya tarik Hasan Al Banna menciptakan cerpen beride sama tapi dikemas dalam balutan yang berbeda.
Bisa juga anggapan itu salah. Mengapa? S. Othman Kelantan yang hidup dalam lingkungan Islam Malaysia, menyerap keadaan lingkungannya yang islamis itu. Lalu muncul dalam pemikirannya memadukan seorang ustaz dengan kebohongan sebagai sebuah sifat untuk dijadikan sebuah karya. Begitu juga dengan Hasan Al Banna. Ia juga hidup dalam lingkungan Islam Indonesia. Ia juga dipertemukan dengan ustaz dan segala permasalahannya. Dengan menangkap permasalahan itu lahirlah ide yang membicarakan hubungan ustaz dan kebohongan.
Untuk menuntaskan prasangka saya, sempat saya bertanya kepada Hasan Al Banna mengenai keterpengaruhannya terhadap sumber bacaan lain dalam menciptakan cerpen “Kebohongan Ustaz Baihaqi”. Ia menjawab bahwa tidak terpengaruh dari bacaan lain melainkan ide cerita yang demikian ia dapat dari imaji yang bertolak dari sekelilingnya.
Dapat disimpulkan bahwa cerpen yang dihasilkan Hasan Al Banna tidak bersumber dari cerpen yang dikarang oleh S. Othman Kelantan. Meskipun ada kemiripan, tapi tidak ada pengaruh dari cerpen sebelumnya. Hasan Al Banna, mungkin juga S. Othman Kelantan menjeput ide dari keadaan sekelilingnya yang memiliki kesamaan, yaitu lingkungan masyarakat Islam. Jadi kemiripan unsur intrinsik yang terdapat pada kedua cerpen yang beralur maju itu tidak semata-mata bersumber dari teks tertulis yang ada sebelumnya, bisa jadi diperoleh dari teks yang tidak tertulis yang hidup dan berkembang di masyarakat.
Bila mengenang ungkapan yang menyatakan bahwa suatu teks baru muncul didasari dari teks-teks yang mendahuluinya, kita bisa saja menolak bila kita memahami teks yang dimaksud sekadar apa yang ditulis. Tapi bila teks juga diartikan sebagai cerita tidak tertulis yang hidup dalam masyarakat kita bisa bersepakat dengan ungkapan itu.
______________________________________
Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).
(Artikel di atas pertama kali diterbitkan di rubrik Art & Cultur, Medan Bisnis)