Moohla!

Wednesday, November 11, 2020

Banpres UMKM Tahap 2 Deli Serdang di Perpanjang. Tunggu Apa Lagi?


Moohla! – Setelah dikabarkan pendaftaran Program Bantuan Presiden Usaha Mikro (BPUM) tahap 2 Kabupaten Deli Serdang ditutup pada 7 November 2020, ternyata pendaftarannya kembali diperpanjang.

Menurut informasi yang didapat dari website Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Deli Serdang, pendaftaran BPUM tersebut diperpanjang hingga 14 November 2020. 

Dengan demikian, berarti masih terbuka peluang bagi warga yang memiliki usaha mikro/kecil di Kabupaten Deli Sedang untuk mengikuti seleksi penerima bantuan Rp. 2,4 Juta dari pemerintah.

Pendaftaran BPUM tahap 2 di Kabupaten Deli Serdang dilakukan secara daring (online) dengan mengunjungi link http://diskopukm.deliserdangkab.go.id/dataukm/.

Bagi masyarakat Desa Percut yang memiliki usaha kecil dan sampai hari ini belum melakukan pendaftaran atau tidak mengerti proses pendaftarannya, Pemerintahan Desa Percut juga memperpanjang masa pelayanan untuk membantu pendaftaran bagi warganya.

"Ya. Kami memperpanjang pelayanan dalam hal membantu warga desa kami untuk proses pendaftaran penerima BPUM tahap 2 Kabupaten Deli Serdang. Semula pelayanan yang kami berikan terkait pendaftaran program ini berakhir pada 6 November 2020, tetapi dikarenakan pendaftaran diperpanjang hingga 14 November 2020, kami juga memperpanjang masa pelayanan kami," ucap Kepala Desa Percut Asyhari Syah, S.Ag.

Dia juga menghimbau kepada warganya yang memiliki usaha kecil dan ingin mendaftar dalam program ini untuk datang langsung ke kantor Desa Percut dengan membawa persyaratan yang diperlukan.

Monday, November 9, 2020

Hari-hari Besar Nasional Indonesia


Moohla! Hari Besar Nasional Indonesia merupakan hari penting yang selalu diperingati setiap tahunnya di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi warga negara Indonesia mengetahui hari-hari penting itu beserta makna-makna di balik peringatannya. 

Adapun hari-hari tersebut berdasarkan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai berikut:

Januari


  • 1 Januari : Tahun Baru Masehi
  • 3 Januari : Hari Departemen Agama
  • 5 Januari : Hari Korps Wanita Angkatan Laut (KOWAL)
  • 10 Januari : Hari Ulang Tahun Partai Demokrasi Indonesia (PDI)
  • 10 Januari : Hari Tritura
  • 10 Januari : Hari Gerakan Satu Juta Pohon
  • 15 Januari : Hari Darma Samudra
  • 25 Januari : Hari Gizi dan makanan
  • 25 Januari : Hari Kusta Internasional
  • 31 Januari : Hari Lahir Nahdlatul Ulama (NU)

Februari


  • 5 Februari : Hari Ulang Tahun Himpunan Mahasiswa Indonesia (HMI)
  • 5 Februari : Peristiwa Kapal Tujuh Provinsi (Zeven Proviencien)
  • 9 Februari : Hari Kaveleri
  • 9 Februari : Hari Persatuan Wartawan Indonesia (PERS)
  • 13 Februari : Hari Persatuan Farmasi Indonesia
  • 14 Februari : Hari Peringatan Pemberontakan Pembela Tanah Air (PETA)
  • 20 Februari : Hari Pekerja Indonesia
  • 21 Februari : Hari Bahasa Ibu
  • 21 Februari : Hari Peduli Sampah Nasional
  • 22 Februari : Hari Istiqlal
  • 24 Februari : Hari Lahir Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama
  • 28 Februari : Hari Gizi Nasional Indonesia 

Maret


  • 1 Maret : Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta
  • 1 Maret : Hari Kehakiman Nasional
  • 6 Maret : Hari KOSTRAD
  • 8 Maret : Hari Perempuan Indonesia
  • 9 Maret : Hari Wanita Indonesia
  • 9 Maret : Hari Musik Nasional
  • 10 Maret : Hari Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI)
  • 11 Maret : Hari Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR)
  • 15 Maret : Hari Hak Konsumen Sedunia
  • 17 Maret : Hari Perawat Nasional
  • 18 Maret : Hari Arsitektur Indonesia
  • 20 Maret : Hari Dongeng Sedunia
  • 21 Maret : Hari Puisi Sedunia
  • 21 Maret : Hari Down Syndrome
  • 21 Maret : Hari Hutan Sedunia
  • 22 Maret : Hari Air Sedunia
  • 24 Maret : Hari Tuberkolosis Sedunia
  • 24 Maret : Hari Peringatan Bandung lautan Api
  • 27 Maret : Hari Teater Internasional
  • 30 Maret : Hari Film Indonesia 

April


  • 1 April : Hari Bank Dunia
  • 2 April : Hari Peduli Autisme Sedunia
  • 2 April : Hari Buku Anak Sedunia
  • 6 April : Hari Nelayan Indonesia
  • 7 April : Hari Kesehatan Internasional
  • 9 April : Hari Tentara Nasional Indonesia - Angkatan Udara (TNI AU)
  • 15 April : Hari Zeni
  • 16 April : Hari Komando Pasukan Khusus (KOPASSUS)
  • 17 April : Hari Hemophilia Sedunia
  • 18 April : Hari Peringatan Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung
  • 19 April : Hari Pertahanan Sipil (HANSIP)
  • 21 April : Hari Kartini
  • 22 April : Hari Bumi
  • 23 April : Hari Buku Sedunia
  • 24 April : Hari Angkutan Nasional
  • 24 April : Hari Solidaritas Asia-Afrika
  • 25 April : Hari Malaria Sedunia
  • 26 April : Hari Kekayaan Intelektual Sedunia
  • 27 April : Hari Pemasyarakatan Indonesia
  • 28 April : Hari Puisi Nasional
  • 28 April : Hari Kesehatan dan Keselamatan Kerja Internasional
  • 29 April : Hari Tari Internasional

Mei


  • 1 Mei : Hari Buruh Sedunia
  • 1 Mei : Hari Peringatan Pembebasan Irian Barat
  • 2 Mei : Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS)
  • 3 Mei : Hari Surya
  • 3 Mei : Hari Pers Sedunia
  • 4 Mei : Hari Pemadam Kebakaran Internasional
  • 5 Mei : Hari Lembaga Sosial Desa (LSD)
  • 5 Mei : Hari Bidan Internasional
  • 8 Mei : Hari Palang Merah Internasional
  • 10 Mei : Hari Lupus Dunia
  • 11 Mei : Hari POM - TNI
  • 12 Mei : Hari Perawat Internasional
  • 15 Mei : Hari Keluarga Internasional
  • 17 Mei : Hari Buku Nasional
  • 17 Mei : Hari Komunikasi Internasional
  • 17 Mei : Hari Ulang Tahun Perpustakaan Nasional RI
  • 19 Mei : Hari Korp Cacat Veteran Indonesia
  • 20 Mei : Hari Kebangkitan Nasional
  • 21 Mei : Hari Dialog dan Pengembangan Perbedaan Budaya Sedunia
  • 22 Mei : Hari Keanekaragaman Hayati
  • 29 Mei : Hari Lanjut Usia Nasional
  • 29 Mei : Hari Internasional Penjaga Perdamaian PBB
  • 31 Mei : Hari Tanpa Tembakau Sedunia 

Juni


  • 1 Juni : Hari Lahir Pancasila 
  • 1 Juni : Hari Anak-anak Sedunia
  • 1 Juni : Hari Susu Sedunia
  • 3 Juni : Hari Pasar Modal Indonesia
  • 4 Juni : Hari Anak Korban Perang
  • 5 Juni : Hari Lingkungan Hidup Sedunia
  • 8 Juni : Hari Laut Sedunia
  • 14 Juni : Hari Donor Darah
  • 17 Juni : Hari Dermaga
  • 17 Juni : Hari Penanggulangan Degradasi Lahan dan Kekeringan Sedunia
  • 21 Juni : Hari Musik Dunia
  • 21 Juni : Hari Krida Pertanian
  • 22 Juni : Hari Ulang Tahun Kota Jakarta
  • 23 Juni : Hari Konvensi Bonn
  • 24 Juni : Hari Bidan Nasional
  • 26 Juni : Hari Peduli Korban Penyiksaan Internasional
  • 26 Juni : Hari Anti Narkoba
  • 29 Juni : Hari Keluarga Berencana (KB) Nasional

Juli


  • 1 Juli : Hari Bhayangkara
  • 5 Juli : Hari Bank Indonesia
  • 9 Juli : Hari Satelit Palapa
  • 11 Juli : Hari Populasi Sedunia
  • 12 Juli : Hari Koperasi Indonesia
  • 14 Juli : hari Revolusi Perancis
  • 17 Juli : Hari Integrasi Timor Timur
  • 17 Juli : Hari Keadilan Internasional
  • 22 Juli : Hari Kejaksaan
  • 23 Juli : Hari Anak Nasional
  • 23 Juli : Hari Tanpa Teve
  • 23 Juli : Hari Waspada Cacing
  • 23 Juli : Hari Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI)
  • 29 Juli : Hari Bhakti TNI Angkatan Udara
  • 30 Juli : Hari Ikrar Gerakan Pramuka

Agustus


  • 1 Agustus : Hari ASI Sedunia
  • 5 Agustus : Hari Dharma Wanita
  • 6 Agustus : Hari Peringatan Bom Hiroshima-Nagasaki
  • 8 Agustus : Hari Ulang Tahun ASEAN
  • 9 Agustus : Hari Masyarakat Adat Internasional
  • 10 Agustus : Hari Veteran Nasional
  • 12 Agustus : Hari Remaja Internasional
  • 13 Agustus : Hari Pengguna Tangan Kiri Internasional
  • 14 Agustus : Hari Praja Muda Karana (PRAMUKA)
  • 17 Agustus : Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
  • 18 Agustus : Hari Konstitusi Republik Indonesia
  • 19 Agustus : Hari Departemen Luar Negeri Indonesia
  • 21 Agustus : Hari Maritim Nasional
  • 24 Agustus : Hari Ulang Tahun TVRI
  • 24 Agustus : Hari Anak Jakarta Membaca
  • 30 Agustus : Hari Internasional Penghilangan Paksa

September


  • 1 September : Hari Polisi Wanita (POLWAN)
  • 4 September : Hari Pelanggan Nasional
  • 4 September : Hari Jilbab Internasional
  • 8 September : Hari Aksara Internasional
  • 8 September : Hari Pamong Praja
  • 8 September : Hari Rabies Sedunia
  • 9 September : Hari Ulang Tahun Partai Demokrat
  • 9 September : Hari Olahraga Nasional
  • 11 September : Hari Radio Republik Indonesia
  • 14 September : Hari Kunjung Perpustakaan
  • 15 September : Hari Demokrasi Internasional
  • 16 September : Hari Ozon Internasional
  • 17 September : Hari Perhubungan Internasional
  • 17 September : Hari Palang Merah Indonesia
  • 21 September : Hari Perdamaian Internasional
  • 22 September : Hari Bebas Kendaraan Bermotor
  • 23 September : Hari Maritim Nasional 
  • 24 September : Hari Tani
  • 26 September : Hari Kontrasepsi Sedunia
  • 27 September : Hari Bakti Pos dan Telekomunikasi
  • 27 September : Hari Pos Telekomunikasi Telegraf (PTT)
  • 28 September : Hari Kereta Api
  • 28 September : Hari Hak untuk Mendapatkan Informasi
  • 29 September : Hari Sarjana Indonesia
  • 30 September : Hari Peringatan Pemberontakan G30S/PKI
  • 30 September : Hari Penerjemah Internasional

Oktober


  • 1 Oktober : Hari Kesaktian Pancasila
  • 2 Oktober : Hari Batik Nasional
  • 5 Oktober : Hari Tentara Nasional Indonesia (TNI)
  • 5 Oktober : Hari Guru Sedunia
  • 12 Oktober : Hari Museum Nasional
  • 16 Oktober : Hari Parlemen Indonesia
  • 20 Oktober : Hari Ulang Tahun Golongan Karya (GOLKAR)
  • 22 Oktober : Hari Santri Nasional
  • 24 Oktober : Hari Dokter Nasional
  • 24 Oktober : Hari Ulang Tahun Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB)
  • 27 Oktober : Hari Penerbangan Nasional
  • 27 Oktober : Hari Listrik Nasional
  • 27 Oktober : Hari Narablog nasional
  • 28 Oktober : Hari Sumpah Pemuda

November


  • 1 November : Hari Inovasi Indonesia
  • 5 November : Hari Cinta Puspa dan Satwa Nasional
  • 10 November : Hari Pahlawan
  • 12 November : Hari Kesehatan Nasional
  • 12 November : Hari Ayah Nasional
  • 12 November : Hari Kesehatan Nasional 
  • 14 November : Hari Brigade Mobil (BRIMOB)
  • 17 November : Hari Pelajar Internasional
  • 17 November : Hari Kanker Paru-paru Sedunia
  • 20 November : Hari Anak Internasional
  • 21 November : Hari Pohon
  • 22 November : Hari Perhubungan Darat
  • 25 November : Hari Guru (PGRI)
  • 28 November : Hari Menanam Pohon Indonesia
  • 28 November : Hari Dongeng Nasional
  • 29 November : Hari Ulang Tahun KORPRI 

Desember


  • 1 Desember : Hari AIDS Sedunia
  • 3 Desember : Hari Bakti PU
  • 9 Desember : Hari Armada Republik Indonesia
  • 9 Desember : Hari Anti Korupsi
  • 10 Desember : Hari Hak Asasi Manusia
  • 13 Desember : Hari Nusantara
  • 15 Desember : Hari Juang Kartika TNI-AD
  • 19 Desember : Hari Bela Negara
  • 19 Desember : Hari TRIKORA
  • 20 Desember : Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional
  • 22 Desember : Hari Ibu
  • 25 Desember : Hari Natal

Sunday, November 8, 2020

Babi-babi di Kebun Mayam

BAGAIMANA kalau itu terjadi? Si Mati kembali dalam dunia nyata ini menemuimu. “Ah, apa ini?!” pikir Maryam. “Astafirullah…,” sambungnya menginsyafi diri. Dielokkannya letak songkok berwarna rebung yang membungkus rambut putihnya.



  Syafrizal Sahrun*  

Umur Maryam hampir tujuh puluh tahun. Umur yang cukup panjang bagi orang-orang masa ini. Tetapi itulah, kakinya masih kuat menungkat tubuh gempalnya. Ia masih sanggup berjalan ke ladang dalam jarak dari sini ke Bagan tanpa singgah beristirahat sekadar minum seteguk dua air.

Yang mati tak mungkin kembali. Maryam yakin itu. Dan yang mati tak mungkin berengkarnasi. Dalam ajaran agama yang dianut Maryam, yang mati akan berpindah ke lain alam. Alam yang tak merenggut usia. Alam yang ibarat terminal, tempat menunggu keberangkatan munuju alam kekal ganjaran dari penghakiman.

Dalam raut wajahnya yang dijalari akar usia, masih jelas terpancar pesona masa mudanya. Bibir yang begitu sensual dengan batang hidung tinggi dan berujung runcing. Pasti banyak lelaki yang tenggelam dalam pesonanya dahulu.

Di bulan ini, puluhan tahun lampau, Maryam kehilangan putra si matawayangnya. Anak itu terbawa air gaib dari tengah laut yang ada di kampung tempat mereka tinggal dulu. Kabarnya kala itu, di pantai dekat rumah mereka, air tiba-tiba surut sampai jauh ke tengah. Ini surut yang tak pernah dialami penduduk kampung. Ikan-ikan begitu saja menghempas-hempaskan diri ke tepian. Melihat itu, orang-orang banyak berkerumun. Seperti mengutip uang yang dijatuhkan langit, mereka bernafsu memunguti ikan-ikan.

Tak disangka tak diduga, air datang gulung-bergulung dalam ketinggian dari tengah laut. Bagai mulut yang besar menganga, melahap pantai dan isinya. Sedang lidah air itu menjilat sampai ketengah-tengah kota. Habis gedung-gudung dan kendaraan-kendaraan luluh-lantak. Orang-orang dipermainkan air dan tak kuasa menolak.

Saat kejadian itu terjadi, Maryam sudah berada di ladangnya. Ladang itu terletak di bukit. Daerah tinggi yang begitu sejuk. Di sanalah Maryam mengurusi tanaman cabainya yang rusak. Satu hari sebelumnya dikabarkan bahwa sekelompok babi hutan datang merusak tanaman yang ada di bukit. Untuk itu selepas sembahyah subuh, Maryam bergegas ke sana menyusuri jalan menanjak yang masih sepi dan sejuk.

Biasanya di hari lubur begini anaknya dibawa Maryam serta. Dapatlah ia nanti membantu sedikit-sedikit di sana. Tetapi, hari ini tidak. Maryam tak sampai hati mengajak anak itu karena menginsyafi keberangkatannya yang begitu subuh. “Biarlah dia tidur,” batin Maryam. “Nanti juga dia tahu menyusul ke lading.”

Maryam bukanlah orang yang pandai membaca masa akanan. Ketika gempa yang membuat air laut menjadi bak Buto mengamuk dirasakannya ketika berada di Ladang, berulang-ulang dipanggilinya nama anaknya. “Isal…Isal…,” katanya. Sembari ia juga menyeru nama tuhan untuk memohon pelindungan. Sesak sekali dadanya. Rasa sesal menjalari perasaannya pula.

Sesuai anjuran pemerintah, Maryam akhirnya turut mengungsi bersama orang-orang yang selamat ke tempat yang lebih aman. Memang tak mudah meninggalkan kampung dalam kondisi ini. Tetapi, apa lagi yang hendak ditunggu. Lapak rumahnya pun sudah sulit ditandai. Mayat bergelimpangan dimana-mana. Setelah dia hulu-hala mencari, tetap tak ia jumpa anaknya itu. Mayatnya pun tidak. Akhirnya, ia pun merelakan diri pergi memenuhi anjuran pemerintah.

Jauh sudah kampung halaman itu di tinggalkan Maryam. Kini ia sudah membuat rumah kecil di Percut, sebuah kampung di pinggir kota Medan. Dengan bantuan seorang anak yang kehilangan orang tuanya dalam peristiwa yang sama, yang dia angkat sebagai anak, serta dibawanya turut bersama, ia bisa hidup lebih dari cukup. Tetapi, dua bulan ini ia jadi sendiri. Anak itu sudah kawin pula dengan orang Langkat. Bukannya anak itu tak mau membawa bininya tinggal serumah dengan Maryam, melainkan mereka berdua bekerja di Binjai, tempat yang cukup jauh dari Percut. Terpaksalah pengantin baru itu menyewa rumah di sana, dekat tempatnya bekerja.

Dalam kesendirian seperti ini sering kali Isal datang mengusik lamunannya. Membuat rindunya bak air melegak – memburak. Membuat keputusannya membiarkan Isal tidur di rumah dulu menjadi penyesalan yang tak puas-puasnya menggerogoti hati tuanya. Hati yang cukuplah merasakan kepedihan.

Gelap telah lama turun menyelimuti kampung. Selepas sembahyang Isya di kamar dan mengaji beberapa lembar Al-Qur’an, Maryam duduk di anjung rumahnya. Menghadap ke jalan. Di seberang jalan terdapat ladang cabai. Yang kalau dilihat siang hari, nampaklah di antara daunnya yang rimbun ada cabai-cabai muda yang muncul.

Angin malam mengelus-elus tubuh Maryam. Di langit, beberapa bintang berkelap-kelip. Kalau dibayang-bayangkan menyerupai lampu pohon natal. Dari mulut Maryam keluar lantunan surat Maryam. Sebuah surat yang seakan sebati dengan pedih yang ia rasa, dan memang mulai dihapalnya dalam pengungsian ketika peristiwa yang melenyapkan anaknya itu terjadi.

Seperti ilham yang datang diam-diam, lewat kuping tuanya, ia mendengar suara kawanan babi. Suara-suara yang datang dari jauh, kemudian semakin menedekat. Sekarang suara babi-babi itu dirasa ada di kebun cabai di sebarang jalan di depan rumahnya. Babi-babi merusak kebun cabai. “Babi-babi…,” ingatan Maryam terputus. Tersadar ia tinggal di Percut. Bagaimana mungkin kampung di tepian paluh ini ada kawanan babi? “Inikan kampung orang Melayu!” serunya dalam kalbu. Di kampung seberang yang ada babi. Letak kampung itu pun jauh dari sini. Bagaimana mungkin kawanan babi bisa lolos melewati kampung-kampung yang rapat penduduk? Ah..

Napas Maryam tersengal. Seketika suasana yang dialaminya beberapa tahun lalu menyergapnya dalam ketidakberdayaan. “Isal…Isal…!” katanya. Tiba-tiba rindunya kepada anak itu semakin meluap-luap tak terbendung. Detak jantungnya jadi lebih berat. Tubuhnya terasa lebih dingin dari musim dingin. Dingin yang berhianat kepada tubuhnya yang semakin hangat.

Ah, yang mati tak mungkin kembali. Maryam yakin itu. Dan yang mati tak mungkin berengkarnasi. Dalam ajaran agama yang dianut Maryam, yang mati akan berpindah ke lain alam. Alam yang tak merenggut usia. Alam yang ibarat terminal, tempat menunggu keberangkatan munuju alam kekal ganjaran dari penghakiman.

Bagaimana kalau itu terjadi? Si Mati kembali dalam dunia nyata ini. Menemuimu. “Ah, apa ini?!” pikir Maryam. “Astafirullah…,” sambungnya lagi dalam menginsyafi keadaan. Dielokkannya letak songkok berwarna rebung yang membungkus rambut putihnya. Lalu, ia masuk, meninggalkan kerlip bintang di langit dan pemandangan ladang cabai yang ada di seberang jalan di depan rumahnya.

Di kamar, Maryam membungkar-bungkar baju yang telah rapi dilipat di dalam almari. Yang ia cari adalah foto Isal. Ia jadi lilinglung. Ia seakan percaya bahwa ada tersimpan foto Isal disitu. Padahal sebelumnya ia tak pernah menyimpan foto itu. Foto dan Isal habis dilumat amuk air waktu di kampung.

“Assalamu’alaikum,” terdengar suara dari luar.

Maryam mematung. “Isal,” pikirnya. Suara yang ia dengar memang suara Isal. Ya, suara Isal. Maryam menyeka rintik air yang tak mampu ditahan kelopak mata tuannya. “Aku yakin Isal belum mati. Isal selamat. Dan datang untukku malam ini,” gumam Maryam.

Dengan langkah setengah berlari, tangan Maryam menyibak kain pintu kamarnya yang bermotif garis-garis tebal horizontal untuk menemui Isal. “Isal…!” Diburunya sumber suara itu. Sampai ia di mulut pintu, tak ada sesiapa ditengoknya. “Isal?! Isal…,” panggilnya. Diamatinya ke sekeliling rumah, tetapi tak ada sesiapa juga. Lalu, ia kembali mematung di mulut pintu menghala ke ladang cabai di seberang jalan yang ada di depan rumahnya. Angin sejuk mengelus tubuhnya. Sedangkan bintang di langit yang kalau dibayang-bayangkan masih menyerupai lampu pohon natal.

Kemudian Maryam lebih mematung dari yang mematung. Dipalingkannya tubuhnya menghadap ke dalam rumah. Ia mendengar suara sekawanan babi mengacak-acak isi kamarnya.
_________________________________________


Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).



Sarung Pemberian

CUACA begitu panasnya. Debu dan asap kenderaan bersilang-silang di udara. Trafic light patuh mengatur lalu lintas, tapi pengendara cuma menganggapnya sebagai benda yang tak dapat berbuat apa-apa. Suara klakson kendaraan laksana sahut-sahutan siamang di hutan.



  Syafrizal Sahrun*  

Tak tahan dengan panasnya cuaca dan dahaga yang menimpa, Hamid memberhentikan kereta di dekat terminal Aksara. Ia memarkirkan keretanya di dekat pagar pembatas dan mengambil kursi yang sudah disediakan penjual es cendol yang selalu mangkal di sana.

“Kasih satu, Bang!”

“Enggih, Mas.”

Sambil si tukang cendol menyiapkan pesanan Hamid, ia tolehkan pandangannya ke terminal itu. Sekarang terminal ini sedikit rapi, tak seperti dulu. Penjual-penjual buah, sayur, ikan, dan lainnya sudah diberi tempat yang bisa dibilang layak. Ia keluarkan sapu tangan yang bersarang di saku kemejanya, lalu dilapkan ke wajahnya. “Aih mak, Bedaki betul ah!” gumamnya melihat sapu tangan itu.

“Ini, Mas!”

“Oh, ya. Terima kasih.”

Setelah mengambi es itu, ia kacau, lalu dihirupnya. Hmm.. Pas gula merahnya, pas leganya. Ia ambil cendol hijau menggoda yang terbenam di dasar gelas. Lumayan mengganjal perut yang lapar. Lalu-lalang kenderan begitu kacau dihadapan.

Seorang lelaki tua dengan bungkusan dikepit di ketiak kanannya berjalan menyelip-nyelip dari angkot-angkot yang mengantre di terminal itu. Tubuhnya bongkok udang, rambutnya beruban dan sedikit panjang. Mengenakan kemeja berlengan pendek dengan celana keper hitam yang digulung bagian bawahnya.

Orang itu berjalan menuju ke arah gerobak es cendol. Selop yang ia seret memunculkan debu yang mengekori langkah kakinya. Ia sudah berada di pagar pembatas itu memperhatikan lalu-lalang kenderaan. Mukanya kusam disantap debu jalanan. Tubuhnya gemetar.

Gelas yang dipegang Hamid tinggal setengah isinya. Tapi kini dahaga yang bersarang ditenggorokannya sudah lumayan mereda. Ada bau keringat yang begitu dekat. Ia tolehkan lagi kepalanya ke arah terminal yang ada di belakangnya. Baunya semakin kuat. Oh, ternyata ada orang yang sudah berdiri di belakanganya. Hamid menatap wajah orang itu dan begitu juga sebaliknya. Orang itu tersenyum, Hamid pun membalasnya.

Tinggal di kota seperti ini memang tak perlu ramah-ramah. Orang-orang di kota sangat individualis. Istilahnya: kau kau, aku aku. Tidak seperti di kampung. Tapi tak ada salahnya membalas senyum. Lagi pula hanya senyum.

Hamid mengembalikan pandangannya. Menikmati sisa es yang ada di genggamannya. Orang yang ada di belakangnya tadi melangkah. Ketika Hamid menoleh ke kanan, eh, orang itu sudah berada di sampingnya.

Sebagai orang yang tinggal di kampung dengan budaya kampung yang masih terbawa, tak ada salahnya bila menawari orang yang hajab ini dengan segelas cendol: cendol, Pak?

“Hem..” orang yang di panggilnya dengan sebutan bapak itu tersenyum. “Ya. Terima kasih.”

Tanpa diperintah, tangan orang itu dipanjangkan menjeput kursi plastik yang ada di samping gerobak cendol. Orang itu menariknya dan meletakkannya di samping Hamid. Lalu ia meletakkan pantatnya perlahan. Bungkusan yang semula ia kepit di ketiaknya, kini sudah berpindah ke pangkuannya.

“Mau kemana, Pak?”

“Belawan. Ke tempat anak.”

“Naik angkot, Pak?”

“Iya.”

“Minum dulu, Pak. Sambil menunggu.”

“Iya. Terima kasih, Nak.”

Dengan jiwa kekampungannya, Hamid meminta segelas es cendol lagi. “Apalah arti segelas cendol, tak juganya langsung miskin awak gara-gara itu”. Begitulah bahasa hatinya yang tersimpan.

“Minum ya, Pak, ya!”

“Tak payahlah, Nak. Tak usah repot-repot.”

“Alah, Pak. Tak Apa. Sambil-sambil menunggu angkot.”

Karena pelanggan lain tak ada, segelas es cendol pun cepat siapnya.

“Ini, Mas.”

Hamid mengambil es itu dengan tangan kanannya – tangan kirinya memegang gelas es cendol miliknya – dan memberikannya kepada orang tua itu.

“Aduh, Nak. Jadi merepotkan.”

Sambil menikmati es cendol dengan iringan musik perkotaan yang serampangan, mereka berdua melanjutkan percakapan.

Wajah orang itu berubah. Makin kuyu. Ia menceritakan keadaan anaknya yang sedang sakit keras yang sekarang hanya terbaring di rumah dengan perawatan seadanya. Biaya rumah sakit cukup mahal untuk menampung sakit anaknya. Apa lagi yang hendak di jual. Rumah di Belawan itu pun bukan pula rumah sendiri, melainkan paluh yang di tepinya didirikan rumah seadanya – bila tak mau dibilang gubuk. Pekerjaan melaut saat ini cuma bisa untuk biaya makan. Itu pun kadang kurang.

“Tak ikut BPJS, Pak?”

Orang tua itu menggeleng. “Susah, Nak. Kata orang ngurusnya mesti satu keluarga dan biayanya perbulan pula. Tau ‘lah nak bekerja jadi nelayan ini. Rezeki Harimau. Kadang ada dapat kadang terhutang. Sempat lagi angin kencang, cemanalah mau bayarnya.”

“Berapa orang anak Bapak?”

“Empat. Yang paling besar di Malaysia. Yang nomor tiga di Batam.”

“Apa can di sana?”

“Kerja di rumah makan.” Wajah orang tua itu bertambah kuyunya. Air matanya berlinang-linang. “Tapi itu lah, Nak. Sampai kini saya tak tau harus menanyakan kabar pada siapa.”

Hamid ikut terharu mendengar pengakuan orang itu. Dari pembicaraan mereka, ia dengar bahwa anak orang tua itu yang sakit kira-kira seumuran dirinya.

Tak lama kemudian angkot ke Belawan berhenti di depan mereka. Menurunkan sewa. Hamid menunjukkannya pada lawan bicaranya. Orang itu menegukkan es cendolnya, mengucapkan terima kasih pada Hamid, lalu membuka bungkusannya. Ia keluarkan kain sarung yang terlipat rapi yang di bungkus dengan plastik kaca.

“Ini, Nak. Sebagai rasa terima kasih saya.”

Kain itu ia letakkan di pangkuan Hamid. Tanpa Hamid sempat bertanya tentang kain, orang tua itu terburu pergi menaiki angkot dan melaju segera.

#

Beberapa hari belakangan ini di Medan sedang hangatnya berita keberadaan sarung pembawa maut. Kabarnya sarung itu merupakan muslihat seorang yang sedang mendalami ilmu hitam. Untuk kesempurnaan ilmunya itu, ia memberikan kain sarung dengan segala modus kepada orang dan hari kemudian orang yang diberi sarung itu akan mati tak wajar.

Pelakunya kabarnya kakek-kakek. Ada yang bilang ia datang dari Binjai. Di sana kabarnya sudah ada korbannya. Ada yang bilang kakek itu datang dari pulau Jawa dan mencari mangsa di Medan. Kabarnya pula sudah ada tumbal dari kota ini. Ada pula yang bilang pembawa sarung itu bukan kakek- kakek, melainkan nenek-nenek. Ada pula yang bilang kalau mereka sepasang – kakek dan nenek. Mereka sedang mendalami ilmu hitam. Bermacam-macamlah tanggapan orang dari hal itu. Tapi sampai sekarang belum ada korban yang pasti untuk dijadikan pegangan. Masih sekadar kata orang-orang.

Cerita itu seperti penyakit menular yang diidap masyarakat di kota ini. Sampai pula ke kampung Hamid. Dari mulai anak-anak sampai emak-emak asik saja menceritaakan tentang sarung pembawa maut itu. Kakek sarung. Begitulah orang-orang menamainya.

Konon, kakek itu akan datang menjumpai orang per orang. Dengan alasan yang beragam, ia akan berusaha memberikan sarung maut itu. Misal dengan menjual sarung itu dengan harga murah, menukarkannya dengan beras atau makanan, memberikannya dengan cuma-cuma sekadar sebagai tanda terima kasih.

Apa? serkadar terima kasih? Alahmak. Terkejut betul Hamid mendengar cerita yang disampaikan Halimah – Istrinya – selepas makan malam itu. Seolah-olah nyawanya tercerabut. Lalu ia seolah berada di siang yang terik. Di sebuah terminal dengan segelas es cendol penghilang dahaga dan pengganjal rasa lapar. Seorang lelaki separuh baya dengan bungkusan dikepit di ketiak kanannya berjalan menyelip-nyelip dari angkot-angkot yang mengantre di terminal itu. Tubuhnya bongkok udang, rambutnya beruban dan sedikit panjang. Mengenakan kemeja berlengan pendek dengan celana keper hitam yang digulung bagian bawahnya. Serta kain sarung yang ditinggalkan pemiliknya di pangkuannya tanpa sempat ia bertanya untuk apa.

Halimah memandangi wajah lakinya yang terlihat kosong itu. Mengernyitkan kening dan menyemai tanya dalam dada.

“Bang! Oh, Bang!”

Si Abang membatu.

Halimah pun memegang bahu suaminya. Menggoyang-goyangnya perlahan. Tergoyang-goyanglah badan lakinya itu.

“Hah. Sarung?” Ucapan itu entah pada siapa ia lontarkan.

“Ada apa, Bang?”

“Iya. Sarung.” Tatapannya masih kosong. Hamid bangkit dari silanya. Bergegas masuk ke kamar. Halimah ditinggal sendiri dengan seribu tanya yang menyemak di dalam diri.

Hamid keluar dengan bungkusan di tangan kanannya. Berplastik kaca. Dia kembali duduk di tempatnya semula dan meletakkan bungkusan itu di depan mereka.

“Kain baru, Bang?”

Hamid menggeleng.

“Hmm. Atau alih-alih kain kakek sarung?” Tanya Halimah dengan nada menyindir.

Hamid menatap tajam wajah bininya itu. Seakan-akan ada kewas-wasan tumbuh subur dalam dirinya. Seakan sekejap itu ia terbayang bila mana salah satu dari mereka jadi tumbal. Bagaimanakah bila Halimah menjadi janda? Atau bagaimana jadinya bila Halimah yang jadi korban kecerobohannya? Ah, Melihat perangai lakinya itu, Halimah pun bertambah takut.

“Entahlah. Tapi yang jelas kain ini dikasih seseorang. Orang tua. Kakek-kakek.” Jawab Hamid perlahan.

Mereka hening. Cicak-cicak yang biasa ceksond ikut hening pula. Suara detak jam dinding pun seakan diperbesar. Angin bersiur-siur menyelinap dari pentilasi jendela.

“Ah. Abang nakut-nakuti aja!” Halimah merapat dan condong ke tubuh Hamid semacam meminta perlindungan.

“Ini Betul, Dek.”

Mereka pun tampak ketakutan. Seolah-olah kain itulah yang menjadi malaikal maut yang akan merentap ruh mereka dari cangkangnya. Seketika itu pula mereka lupa dengan kotbah-khotbah yang sering mereka dengar: kematian itu datangnya dari Tuhan. Bukan dari dari sarung.

“Jadi cemana, Bang? Lekaslah buang benda ‘tu malam ‘ni”

“Kemana mau dibuang?”

“Kemanalah, Bang. Asal jangan dia di dekat kita.”

#

Jam dinding menunjukkan pukul dua pagi. Halimah sudah lelap, memunggungi Hamid di atas katil. Lakinya itu telentang dengan tangan kanannya tertumpu di kening. Apa yang ia pikirkan? Tepat. Pastinya tentang sarung itu. Sarung maut.

Apa benar cerita itu? Jika tidak, alangkah berdosanya aku membuang pemberian orang. Tapi jika itu benar? Ah. Hamid terus berdebat dengan dirinya menerjemahkan sarung itu.

Ia pun bangkit dari goleknya. Duduk di tepi katil. Menghadap ke lemari pakaian. Lama ia merenungi dirinnya dan wajah istrinya yang pulas di depan cermin yang ada di lemari. Jauh menembus sosok di cermin. Setelah beberapa menit, ia bangkit dan membuka lemari itu perlahan. Mengeluarkan tas kerjanya yang ada di rak paling bawah. Membuka resletingnya dan mengeluarkan kain sarung itu. Istrinya tak tau kalau kain itu belum dibuang.

Ada rasa takut akan bahaya dari kain itu. Tapi bila mengenang mengapa kain itu diberikan dan masalah hidup yang ditanggung orang yang memberikannya, berat hatinya untuk membuangnya.

Ia meyakinkan diri bila pun maut itu akan datang, ia tak ‘kan dapat ditunda. Bila pun kain ini yang menjadi penyebab kematiannya, Wallahu’alam! Ia kuatkan diri, bahwa itulah jalannya.

Ia pergi membawa kain itu ke perigi. Meletakkannya di atas mesin air. Lalu dengan membaca doa, ia pun mengambil air sembahyang. Ia mau sembahyang tahajjud memakai kain itu. Ia berharap bila pun ilmu hitam itu datang, ia sudah berlindung di bawah kekuasaan Tuhan. Apa bila ilmu hitam itu mitos belaka, ia ingin meminta di dalam sujudnya agar pemberi kain itu dan masalah yang dihadapinya diberikan kemudahan dalam menghadapi permasalahan hidup yang menjeratnya.

Sesampai di kamar dan menutup pintu, ia kembali duduk di tepi ranjang. Istrinya begitu pulasnya. Ia buka kain itu perlahan dengan membaca basmallah. Jantungnya berdebar – debar. Di pandangnya sekali istrinya. Pelastik itu pun di buka. Ia keluarkan kainnya yang masih terlipat rapi. Ia kerpaskan. Krebakkkk.. Ada benda yang terlempar dari dalam lipatan kain itu dan menghantam lemari. Ada pula suara logam yang menghempas ke lantai dan menggelinding. Istrinya terbangun. Ia sibuk mencari benda itu. Meraba di kolong katil. Semacam lipatan kertas, agak sedikit berat. Ia mengeluarkannya dari kegelapan bawah katil.

Alangkah terkejutnya Hamid. Benda itu adalah lipatan duit puluhan ribu. Sebagian ada pula duit logam yang berserakan. Ia bertambah bingung dengan adanya duit itu. Dan memandang kepada istrinya.

“Ada apa, Bang?” tanya istrinya curiga.

Wajahnya menyiratkan kerisauan. Ia mengangkat tangan kanannya yang di penuhi duit. Lalu berdiri dengan mengangkat sarung yang ada di tangan kirinya. Seraya menunjukkan kepada istrinya.

“Banyak duit, Abang?” ujar istrinya ketika melihat tumpukan duit di tangan kanan Hamid. Saat mengalihkan pandang ke tangan lakinya yang satunya lagi. Rasa sejuk menyergap Jantung Halimah. Tubuhnya seketika menggigil.

“Aaaaaaaaaauu……!!!” jerit Halimah melengking memecah keheningan.
_______________________________________________


Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).

(Cerpen di atas sudah diterbitkan di Harian Analisa, 6 Juni 2018)

Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi

“SABAR, Pak, sebentar lagi,” kata hansip.

“Waktunya selalu tepat pak, tak pernah meleset, ” sambung warga yang lain.

Pak RT manggut-manggut dengan bijak. Ia melihat arloji. “Masih satu menit lagi,” ujarnya.



  Seno Gumira Ajidarma*  

Satu menit segera lewat. Terdengar derit pintu kamar mandi. Serentak orang-orang yang mengiringi Pak RT mengarahkan telinganya ke lobang angin, seperti mengarahkan antena parabola ke Amerika seraya mengacungkan telunjuk di depan mulut.

“Ssssstttt!”

Pak RT melihat wajah-wajah yang bergairah, bagaikan siap dan tak sabar lagi mengikuti permainan yang seolah-olah paling mengasyikkan di dunia. Lantas segalanya jadi begitu hening. Bunyi pintu yang ditutup terdengar jelas. Begitu pula bunyi resleting itu, bunyi gesekan kain-kain busana itu, dendang-dendang kecil itu, yang jelas suara wanita. Lantas byar-byur-byar-byur. Wanita itu rupa-ruapnya mandi dengan dahsyat sekali. Bunyi gayung menghajar bak mandi terdengar mantap dan penuh semangat.

Namun yang dinanti-natikan Pak RT bukan itu. Bukan pula bunyi gesekan sabun ke tubuh yang basah, yang sangat terbuka untuk ditafsirkan sebebas-bebasnya.

Yang ditunggu Pak RT adalah suara wanita itu. Dan memang dendang kecil itu segera menjadi nyanyian yang mungkin tidak terlalu merdu, tapi ternyata merangsang khayalan, menggairahkan. Suara wanita itu serak-serak basah. Entah apa pula yang dibayangkan orang-orang di balik tembok dengan suara yang serak-serak basah itu. Wajah mereka seperti orang lupa dengan keadaan sekelilingnya. Agaknya nyanyian wanita itu telah menciptakan sebuah dunia di kepala mereka dan mereka sungguh-sungguh senang berada di sana.

Hanya hansip yang masih sadar.

“Benar kan Pak?”

Pak RT tertegun. Suara wanita itu sangat merangsang dan menimbulkan daya khayal yang meyakinkan, seperti kenyataan.

Pak RT memejamkan mata. Memang segera tergambar suatu keadaan yang mendebarkan. Bunyi air mengguyur badan jelas hanya mengarah ke tubuh yang telanjang. Bunyi sabun menggosok kulit boleh ditafsirkan untuk suatu bentuk tubuh yang sempurna. Dan akhirnya, ya, suara serak-serak basah itu, segera saja membayangkan suatu bentuk bibir, suatu gerakan mulut, leher yang jenjang, dan tenggorokan yang panjang—astaga, pikir Pak RT, alangkah sensualnya, alangkah erotisnya, alangkah sexy!

Ketika Pak RT membuka mata, keningnya sudah berkeringat. Dengan terkejut dilihatnya warga masyarakat yang tenggelam dalam ekstase itu mengalami orgasme.

“Aaaaaaahhhhh!”

Dalam perjalanan pulang, hansip memberondongnya dengan pertanyaan.

“Betul kan, Pak, suaranya sexy sekali?”

“Ya.”

“Betul kan, Pak, suaranya menimbulkan imajinasi yang tidak-tidak?”

“Ya.”

“Betul kan, Pak, nyanyian di kamar mandi itu meresahkan masyarakat?”

“Boleh jadi.”

“Lho, ini sudah bukan boleh jadi lagi, Pak, sudah terjadi! Apa kejadian kemarin belum cukup?”

***

Kemarin sore, ibu-ibu warga sepanjang gang itu memang memenuhi rumahnya. Mereka mengadu kepada Pak RT, bahwa semenjak terdengar nyanyian dari kamar mandi rumah Ibu Saleha pada jam-jam tertentu, kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu terganggu.

“Kok Bisa?” Pak RT bertanya.

“Aduh, Pak RT belum dengar sendiri sih! Suaranya seksi sekali!”

“Saya bilang seksi sekali, bukan hanya seksi. Kalau mendengar suaranya, orang langsung membayangkan adegan-adegan erotis, Pak!”

“Sampai begitu?”

“Ya, sampai begitu! Bapak kan tahu sendiri, suaranya yang serak-serak basah itu disebabkan karena apa!”

“Karena apa? Saya tidak tahu.”

“Karena sering di pakai dong!”

“Dipakai makan maksudnya?”

“Pak RT ini bagaimana sih? Makanya jangan terlalu sibuk mengurusi kampung. Sesekali nonton BF kek, untuk selingan supaya tahu dunia luar.”

“Saya, Ketua RT, harus nonton BF, apa hubungannya?”

“Supaya Pak RT tahu, kenapa suara yang serak-serak basah itu sangat berbahaya untuk stabilitas sepanjang gang ini. Apa Pak RT tidak tahu apa yang dimaksud dengan adegan-adegan erotis? Apa Pak RT tidak tahu dampaknya bagi kehidupan keluarga? Apa Pak RT selama ini buta kalau hampir semua suami di gang ini menjadi dingin di tempat tidur? Masak gara-gara nyanyian seorang wanita yang indekost di tempat ibu Saleha, kehidupan seksual warga masyarakat harus terganggu? Sampai kapan semua ini berlangsung? Kami ibu-ibu sepanjang gang ini sudah sepakat, dia harus diusir!”

“Lho, lho, lho, sabar dulu. Semuanya harus dibicarakan baik-baik. Dengan musyawarah, dengan Mufakat, jangan main hakim sendiri. Dia kan tidak membuat kesalahan apa-apa? Dia hanya menyanyi di kamar mandi. Yang salah adalah imajinasi suami ibu-ibu sendiri, kenapa harus membayangkan adegan-adegan erotis? Banyak penyanyi Jazz suaranya serak-serak basah, tidak menimbulkan masalah. Padahal lagu-lagunya tersebar ke seluruh dunia.”

“Ooo itu lain sekali, Pak. Mereka tidak menyanyikannya di kamar mandi dengan iringan bunyi jebar-jebur. Tidak ada bunyi resleting, tidak ada bunyi sabun menggosok kulit, tidak ada bunyi karet celana dalam. Nyanyian di kamar mandi yang ini berbahaya, karena ada unsur telanjangnya, Pak! Porno! Pokoknya kalau Pak RT tidak mengambil tindakan, kami sendiri yang akan beramai-ramai melabraknya!”

Pak RT yang diserang dari segala penjuru mulai kewalahan. Ia telah menjelaskan bahwa wanita itu hanya menyanyi di kamar mandi, dan itu tidak bisa di sebut kesalahan, apalagi melanggar hukum. Namun ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa ibu-ibu di sepanjang gang itu resah karena suami mereka menjadi dingin di tempat tidur. Ia tidak habis pikir, bagaimana suara yang serak-serak basah bisa membuat orang berkhayal begitu rupa, sehingga mempengaruhi kehidupan seksual sepasang suami istri. Apakah yang terjadi dengan kenyataan sehingga seseorang bisa bercinta dengan imajinasi? Yang juga membuatnya bingung, kenapa para suami ini bisa mempunyai imajinasi yang sama?

“Pasti ada yang salah dengan sistem imajinasi kita,” pikirnya.

Sekarang setelah mendengar sendiri suara yang serak-serak basah itu, Pak RT mesti mengakui suara itu memang bisa dianggap seksi dengan gambaran umum mengenai suara yang seksi. Meski begitu Pak RT juga tahu bahwa seseorang tidak harus membayangkan pergumulan di ranjang mendengar nyanyian dari kamar mandi itu, walaupun ditambah dengan bunyi byar-byur-byar-byur, serta klst-klst-klst bunyi sabun menggosok kulit.

Karenanya, Pak RT berkeputusan tidak akan mengusir wanita itu, melainkan mengimbaunya agar jangan menyanyi di kamar mandi, demi kepentingan orang banyak.

Di temani Ibu Saleha yang juga sudah tahu duduk perkaranya, Pak RT menghadapi wanita itu. Seorang wanita muda yang tidak begitu cantik juga tidak tergolong jelek. Seorang wanita muda yang hidup dengan sangat teratur. Pergi kantor dan pulang ke rumah pada waktu yang tepat. Bangun tidur pada jam yang telah di tentukan. Makan dan membaca buku pada saat yang selalu sama. Begitu pula ketika ia harus mandi, sambil menyanyi dengan suara serak-serak basah.

“Jadi, suara saya terdengar sepanjang gang di belakang rumah?”

“Betul, Zus.”

“Dan ibu-ibu meminta saya agar tidak menyanyi supaya suami mereka tidak berpikir yang bukan-bukan?”

“Ya, kira-kira begitu Zus.”

“Jadi selama ini ternyata para suami di sepanjang gang di belakang rumah membayangkan tubuh saya telanjang ketika mandi, dan membayangkan bagaimana seandainya saya bergumul dengan mereka di ranjang, begitu?”

Pak RT sudah begitu malu. Saling memandang dengan Ibu Saleha yang wajahnya pun sama-sama sudah merah padam. Wanita yang parasnya polos itu membasahi bibirnya dengan lidah. Mulutnya yang lebar bagaikan mengandung tenaga yang begitu dahsyat untuk memamah apa saja di depannya.

Pak RT melirik wanita itu dan terkesiap melihat wajah itu tersenyum penuh rasa maklum. Ia tidak menunggu jawaban Pak RT.

“Baiklah, Pak RT, Saya usahakan untuk tidak menyanyi di kamar mandi,” ujarnya dengan suara yang serak-serak basah itu, ”akan saya usahakan agar mulut saya tidak mengeluarkan suara sedikit pun, supaya para suami tidak membayangkan diri mereka bergumul dengan saya, sehingga mengganggu kehidupan seksual keluarga sepanjang gang ini”.

“Aduh, terimakasih banyak, Zus. Harap maklum, Zus, saya cuma tidak ingin masyrakat menjadi resah.”

Begitulah semenjak itu, tak terdengar lagi nyanyian bersuara serak-serak basah dari kamar mandi di ujung gang itu. Pak RT merasa lega. “semuanya akan berjalan lancar,” pikirnya. Kadang-kadang ia berpapasan dengan wanita yang penuh pengertian itu. Masih terbayang di benak Pak RT betapa lidah wanita itu bergerak-gerak membasahi bibirnya yang sungguh-sungguh merah.

***

Tapi, Pak RT rupanya masih harus bekerja keras. Pada suatu sore hansip melapor.

“Kaum ibu sepanjang gang ternyata masih resah, Pak.”

“Ada apa lagi? Wanita itu sudah tidak menyanyi lagi kan?”

“Betul Pak, tapi menurut laporan ibu-ibu pada saya, setiap kali mendengar bunyi jebar-jebur dari kamar mandi itu, para suami membayangkan suaranya yang serak-serak basah. Dan karena membayangkan suaranya yang serak-serak basah dan seksi, lagi-lagi mereka membayangkan pergumulan di ranjang dengan wanita itu Pak. Akibatnya, kehidupan seksual warga kampung sepanjang gang ini masih belum harmonis. Para ibu mengeluh suami-suami mereka masih dingin di tempat tidur, Pak!”

“Jangan-jangan khayalan para ibu tentang isi kepala suami mereka sendiri juga berlebihan! Kamu sendiri bagaimana? Apa kamu juga membayangkan yang tidak-tidak meski hanya mendengar jebar-jebur orang mandi saja?”

Hansip itu tersenyum malu. “Saya belum kawin, Pak.”

“Aku tahu, maksudku kamu membayangkan adegan-adegan erotis atau tidak kalau mendengar dia mandi?”

“Ehm! Ehm!”

“Apa itu Ehm-Ehm?”

“Iya, Pak”

“Nah, begitu dong terus terang. Jadi ibu-ibu maunya apa?”

“Mereka ingin minta wanita itu diusir, Pak.”

Terbayang di mata Pak RT wajah ibu-ibu sepanjang gang itu. Wajah wanita-wanita yang sepanjang hari memakai daster, sibuk bergunjing, dan selalu ada gulungan keriting rambut di kepalanya. Wanita-wanita yang selalu menggendong anak dan kalau teriak-teriak tidak kira-kira kerasnya, seperti di sawah saja. Wanita-wanita yang tidak tahu cara hidup selain mencuci baju dan berharap-harap suatu hari bisa membeli mebel yang besar-besar untuk ruang tamu mereka yang sempit.

“Tidak mungkin, wanita itu tidak bersalah. Bahkan melarangnya nyanyi saja sudah keterlaluan.”

“Tapi imajinasi porno itu tidak bisa dibendung, Pak.”

“Bukan salah wanita itu dong! Salahnya sendiri kenapa mesti membayangkan yang tidak-tidak? Apa tidak ada pekerjaan lain?”

“Salah atau tidak, menurut ibu-ibu adalah wanita itu penyebabnya Pak. Ibu-ibu tidak mau tahu. Mereka menganggap bunyi jebar-jebur itu masih mengingatkan bahwa itu selalu diiringi nyanyian bersuara serak-serak basah yang seksi, sehingga para suami masih membayangkan suatu pergumulan di ranjang yang seru.”

Pak RT memijit-mijit keningnya. “Terlalu,” batinnya, ”pikiran sendiri yang kemana-mana, orang lain disalahkan.”

Pengalamannya yang panjang sebagai ketua RT membuatnya hafal, segala sesuatu bisa disebut kebenaran hanya jika dianut orang banyak. Sudah berapa maling digebuki sampai mati di kampung itu dan tak ada seorangpun yang dituntut ke pengadilan, karena dianggap memang sudah seharusnya.

“Begitulah Zus,” Pak RT sudah berada dihadapan wanita itu lagi. ”Saya harap Zus berbesar hati menghadapi semua ini. Maklumlah orang kampung Zus, kalau sedang emosi semaunya sendiri.”

Wanita itu lagi-lagi tersenyum penuh pengertian. Lagi-lagi ia menjilati bibirnya sendiri sebelum bicara.

“Sudahlah, Pak, jangan dipikiri, saya mau pindah ke kondominium saja, supaya tidak mengganggu orang lain.”

Maka hilanglah bunyi jebar-jebur pada jam yang sudah bisa dipastikan itu. Ibu-ibu yang sepanjang hari cuma mengenakan daster merasa puas, duri dalam daging telah pergi. Selama ini alangkah tersiksanya mereka, karena ulah suami mereka yang menjadi dingin di tempat tidur, gara-gara membayangkan adegan ranjang seru dengan wanita bersuara serak-serak basah itu.

***
Pada suatu sore, di sebuah teras, sepasang suami istri bercakap-cakap.

“Biasanya jam segini dia mandi,” kata suaminya.

“Sudah. Jangan diingat-ingat,” sahut istrinya cepat-cepat.

“Biasanya dia mandi dengan bunyi jebar-jebur dan menyanyi dengan suara serak-serak basah.”

“Sudahlah. Kok malah diingat-ingat sih?”

“Kalau dia menyanyi suaranya seksi sekali. Mulut wanita itu hebat sekali, bibirnya merah dan basah. Setiap kali mendengar bunyi sabun menggosok kulit aku tidak bisa tidak membayangkan tubuh yang begitu penuh dan berisi. Seandainya tubuh itu kupeluk dan kubanting ke tempat tidur. Seandainya …”

Belum habis kalimat suami itu, seketika istrinya berteriak keras sekali, sehingga terdengar sepanjang gang.

“Tolongngngngng! Suami saya berkhayal lagi! Tolongngngngng!”

Ternyata teriakan itu bersambut. Dari setiap teras rumah, terdengar teriakan para ibu melolong-lolong.

“Tolongngngngng! Suami saya membayangkan adegan ranjang lagi dengan wanita itu! Tolongngngngng!”

Suasana jadi geger. Hansip berlari kian kemari menenangkan ibu-ibu. Rupa-rupanya tanpa suara nyanyian dan bunyi byar-byur-byar-byur orang mandi, para suami tetap bisa membayangkan adegan ranjang dengan wanita bersuara serak-serak basah yang seksi itu. Sehingga bisa dipastikan kebahagiaan rumah tangga warga sepanjang gang itu akan terganggu.

Pak RT pusing tujuh keliling. Bagaimana caranya menertibkan imajinasi? Tapi sebagai ketua RT yang berpengalaman, ia segera mengambil tindakan. Dalam rapat besar esok harinya ia memutuskan agar di kampung itu didirikan fitness centre. Pak RT memutuskan bahwa di fitness centre itu akan diajarkan Senam Kebahagiaan Rumah Tangga yang wajib diikuti ibu-ibu, supaya bisa membahagiakan suaminya di tempat tidur. Pak RT juga sudah berpikir-pikir, pembukaan fitness center itu kelak, kalau bisa dihadiri Jane Fonda.

Kemudian, di sepanjang gang itu juga berlaku peraturan baru:

Taman Manggu, 29 Desember 1990
______________________________________________



Dr. Seno Gumirah Ajidarma, S.Sn, M.Hum. Lahir di Boston, Amerika Serikat, 19 Juni 1958. Dia adalah Sastrawan/Cerpenis masyur Indonesia.


(Cerpen di atas disalin dari situs web sukab.wordpress.com dengan sedikit pengeditan)

Marlina

SEMUA itu memuncak hari Senin lalu. Ketika Sum, teman seprofesiku, minta tolong. “Bu Mar. Bulan depan saya mulai cuti,” kata Sum sembari tangannya mengusap perutnya yang membesar. Lalu, dia menyuguhkan senyum kepadaku. Matanya sesekali menunduk, melihat ujung perutnya yang dibalut kain motif pulkadut.



  Syafrizal Sahrun*  

Aku dapat menangkap pesan tersiratnya. Dia pasti minta aku menggantikannya mengajar. Heh, cara penyampaian yang basi. Kau tahu, ini sudah yang kesembilan kali. Gila gak? Kuat amat! Mau diapakan bocah-bocah itu nanti? Hah? Mau jadi apa?

Aku diam sambil menatapnya. Memberi isyarat supaya ia bisa memahami kondisiku sekarang ini. Keinginan untuk marah kutahan-tahan.

“Tuh, sih, kamu. Gak pernah ngerasain,” katanya.

Sontak aku naik pitam mendengar apa yang dikatakannya. Tanpa sadar aku jadi ringan tangan. Pess.. Tanganku naik ke pipinya. Dia menangis. Ruangan guru jadi gaduh. Teman-teman mulai mendekat. Lalu, aku disergap rasa bersalah karena hal yang baru saja kulakukan. Kuambil tasku, lalu melangkah pergi. Aku ingin sendiri.

“Semestinya aku tak melakukan itu,” kesalku.

Halte yang ada di terminal dipenuhi banyak orang ketika aku sampai. Aku tak dapat tempat duduk dan harus berdiri. Beberapa menit kemudian, seorang remaja memakai ransel – mungkin pulang kuliah – yang tadi kulihat duduk di belakangku sudah berdiri selangkah di depanku. Busway berhenti di depan kami. Remaja itu naik dan diikuti beberapa orang yang ada disini.

Halte jadi lebih sepi. Aku mundur, lalu menduduki tempat remaja tadi. Aku jadi lebih santai untuk memikirkan kejadian yang baru saja terjadi. Kuambil botol minuman dari dalam tas kulit merah marunku. Lalu, kudeguk air yang ada di dalamnya.

Bagaimana mungkin perempuan kampungan itu bisa dianugerahi anak sebegitu banyak? Aku bisa pastikan gizi makanannya. Ya, dari itu ke itu juga. Berapalah gaji guru? Apalagi suaminya cuma pekerja serabutan.

Sedangkan aku? Dua kali sehari minum susu, makan buah, vitamin. Dua minggu sekali kontrol kesehatan ke dokter pribadi. Ah, kalau masalah gaji, aku yakin gaji kami tiga kali lipat dari penghasilan Sum dan suaminya. Penghasilan suamiku saja berlebih untuk kebutuhan kami.

Kau tahu? Sudah hampir 10 tahun aku dan Bang Alex menikah. Tapi, toh, belum juga ada tanda-tanda aku hamil. Dokter kandungan saja sudah sepuluh yang kami datangi. Apa yang disarankan telah kami lakukan. Entah berapa banyak obat kesuburan dan vitamin yang sudah aku telan. Begitu juga dengan Bang Alex. Tetapi, tetap saja tamu bulananku tak pernah telat datang.

Pernah dulu, beberapa kali aku berobat ke dukun kampung. Itu pun aku yang memaksa Bang Alex untuk turut. Seluruh pakaianku dilepas. Aku hanya memakai sarung. Selanjutnya, tangan dukun perempuan itu mulai mengurut tubuhku. Mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala. Di daerah perut, tangan dukun itu banyak bergerak. “Rahim kau tak bagus letaknya,” kata dukun itu. Kemudian ia coba memperbaikinya.

Yang membuatku risih, ketika tangannya mengurut di wilayah kemaluanku. Aku sempat menolak. Ketika mataku memberi isyarat kepada Bang Alex yang juga ada bersamaku di dalam kamar itu, Bang Alex malah tersenyum seraya memberikan izin kepada dukun itu. “Biarlah,” pikirku. Itu juga supaya aku bisa hamil. Supaya aku bisa menjadi mama dari anak-anak Bang Alex.

Setelah aku, giliran Bang Alex yang diurut. Tetapi, bukan dukun perempuan tadi yang melakukannya, melainkan seorang lelaki. Kalau kutaksir usianya kepala empat. Lebih muda dari yang mengurutku tadi. Setelah kami berdua selesai diurut, kami disuruh meminum jamu di dalam gelas yang telah disiapkan di atas meja.

“Ini yang dua bungkus dibawa pulang ya,” kata dukun perempuan itu. “Diminum bangun tidur dan hendak tidur.”

Apa yang disarankan telah kami lakukan dengan baik. Berbagai teknik bercinta untuk mempercepat kehamilan juga sudah kami lakukan. Tetap saja hasilnya nihil.

Aku tak bisa membayangkan jika seandainya Bang Alex menikah lagi untuk mencari keturunan, sedang aku dimadu. Atau malah dia menceraikanku. “Ampun!!!” kepalaku mau pecah kalau membayang-bayangkan itu.

Lamunanku buyar saat kusadari tinggal aku sendiri di halte ini. Sesaat kemudian sebuah busway berhenti. Aku pun naik.

***

Selesai mandi dan berpakaian, aku duduk di kursi rotan panjang yang ada di teras rumah. Sore ini, langit masih begitu cerah. Kupandangi ayunan besi di pekarangan yang dikelilingi tanaman-tanaman anggrek dan beberapa jenis mawar hasil kawin silang.

Aku membayangkan sedang duduk di ayunan itu sembari berayun-ayun pelan. Di tanganku ada sepiring nasi dengan sayur brokoli bercampur kentang dan wortel. Sedangkan tangan kiriku mengangkat sendok yang telah berisi nasi dengan sedikit sayuran. Chantia Adelina, anakku yang berusia tiga tahun setengah ada di sampingku. Dia sangat manis dan menggemaskan. Di rambutnya tersemat pita kupu-kupu jingga. Aku pun menyuapinya. Sedangkan Nikolas, anak sulungku, sedang bermain mobil-mobilan di sebelah sana, dekat bagasi. Sesekali aku meliriknya. Takut kalau-kalau ada sesuatu yang menimpanya. Alangkah bahagianya aku.

Tetapi, ketika aku menyadari itu cuma halusinasi, hatiku jadi begitu sakit. Sesak nafasku membayangkan itu. Air mataku jatuh juga meski sudah kutahan-tahan. “Tuhan! Kenapa siksaan ini kau berikan kepadaku?”

Hari ini aku lebih cepat datang ke sekolah. Tampak beberapa siswa sibuk membersihkan pekarangan kelasnya. Aku duduk di bangku yang menghadap ke lapangan sekolah. Hari ini aku berniat meminta maaf kepada Sum. Setelah kupikir-pikir semestinya aku tidak menamparnya kemarin.

Bagaimana aku menyampaikan apa yang disarankan Bang Alex? “Untuk menebus kesalahanmu, aku mau mengadopsi anak itu nanti kalau lahir,” kata Bang Alex tadi malam ketika aku menceritakan kejadian itu kepadanya. Sebenarnya berat aku menerima, lebih tepatnya malu.

Mendengar petuah-petuah orang tua, katanya mengadopsi anak akan memancing lahirnya anak bagi pasangan seperti kami. Itu sudah dibuktikan oleh beberapa teman. Untuk itu aku setuju dengan permintaan suamiku. Lagi pula bisalah itu sebagai penebus rasa bersalahku.

Aku lalu mengarang-ngarang cara jitu untuk menyampaikannya kepada Sum nanti. Mengarang apa yang sebenarnya sudah kukarang-karang.

Bel masuk berbunyi. Tetapi, Sum belum terlihat juga. Bukankah hari ini dia ada jam sampai les terakhir? Lagi pula tak mungkin secepat ini dia libur. Kandungnnya masih berusia delapan bulan.

Aku masuk ke kelas menurutkan jam pelajaran pertama yang telah dimulai. Aku menyampaikan pelajaran dengan pikiran yang terus tertuju pada Sum. Hingga jam keenam berlalu, Sum tak juga kutemukan di sekolah. Tak mungkin aku menunda inginku ini besok, atau lusa. Ini harus tuntas segera.

Kuputuskan untuk menelpon Sum saja. Aku mau ajak dia bertemu. Kalau nanti dia di rumah, selesai mengajar ini aku ke rumahnya. Kuambil smartphone-ku dari dalam tas kulit merah marun. Kutelpon Sum. Tut…tut…tut…, tak ada jawaban. Kucoba lagi. Tak ada juga jawaban. Kucoba lagi. Ketika panggilan ketiga baru dimulai, kulihat dilayar smartphone-ku ada sms masuk. Kubatalkan panggilan ketiga kepada Sum. Setelah telpon terputus, kutahu sms tadi adalah sms dari nomor informasi sekolah. Kubaca sms itu: Innalillahi wainna ilaihi roziun. Telah meninggal dunia Sumiati, S.Pd satu jam yang lalu di RS. Prihatin dalam proses melahirkan sesar. Akan dikebumikan segera. Diharapkan kepada semua guru yang bertugas hari ini untuk bertakziah sepulang sekolah. Ttd. Kasek,” begitu yang tertulis.

“Ya, ampun,” kataku. Kupegang kepalaku dan kujambaki rambutku.

Percut, 2017
______________________________________


Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).

Potret di Ruang Tamu

SESAMPAI di ambang pintu, kulihat Mawarti, istriku, duduk di kursi biru yang kubeli – kalau tak hilap – sepuluh tahun lalu. Kursi yang tak pernah berpindah dari ruang tamu. Sebagai seorang suami, pastilah akan tumbuh sukacitanya menyaksikan hal yang demikian. Bila bini menunggu, hilang lelah letih di badan yang muncul dari kesibukan kerja satu harian.



  Syafrizal Sahrun*  

Tapi sungguh, yang ini tidaklah begitu agakku. Muka Mawarti yang masam seperti gulai kari yang tak sempat dipanaskan, menumbuhkan sesal dalam hati ini karena memilih pulang. Maunya tadi aku berlama-lama saja di luar. Ah, Mawarti belakangan ini memang menjengkelkan.

Salamku pun tak dijawabnya. Melirik pun tidak. Ketat mukanya ia halakan ke dinding. Dinding yang dua meter dari dasar ke atas kupajang potretku berjas hitam dengan dasi kupu-kupu terpasang di leher dan begitu mesra memeluk Mawarti dari belakang. Ia adalah pelabuhan cita-cita para pemuda. Begitu cantik dan menawan memakai gaun putih milik bidan ternama di kampung ini.

Kulepas sepatu kulit hitam yang hampir seharian tak dilekang. Sepatu yang tetap kujaga kilaunya walau tumitnya sudah timpang. Kuletakkan sepatu itu di samping pintu. Aku masuk menuju kamar tidur untuk membaringkan bawaanku yang lelah membebani.

“Mengapa cepat pulang? Semestinya berlama-lama saja di sana.” Suara itu keluar dari bibir merah Mawarti. Aku baru saja ingin memegang engkol pintu. Tapi kutangguhkan. Kuturutkan hati untuk memperjelas bagian mana di tubuhku yang ingin ditikam Mawarti dengan ucapannya itu. Kuhalakan hadapku ke mukanya. Keadaannya masih tetap. Bibirnya jadi lebih kecil karena bersungut.

“Tak ada yang cepat dan tak ada yang lambat. Inilah memang waktu yang tepat.”

Dengan ekor mata Mawarti meliriku. Seakan ia ingin memaksaku untuk mengiyakan apa yang ada dalam pikirannya. Mungkin ia menganggap kejujuranku sebagai kebohongan. Sehingga kebohongan itu harus segera diadili.

“Alasan. Apa kehabisan uang sehingga ia tak mengijinkan kumbang liar menetap lebih lama?”

“Apa maksud perempuan ini?” kata hatiku. Kutatap ia dalam. Kucari-cari salah diriku. Bahkan masalah yang sudah dingin pun kuungkar-ungakar lagi. Tapi sepertinya memang tak ada. “Ati, kenapa? Abang baru pulang. Kalau ada masalah, apakah tidak sebaiknya kita ceritakan nanti?”

“Lebih cepat lebih baik. Sebaiknya kita lekas berce…” Ucapan Mawarti terhenti ditingkahi salam yang datang dari teras depan. Ketegangan dipaksa cair. Suara Mawarti seratus persen berubah saat menyambut salam itu. Kuhimpun udara yang ada di dekatku. Kukumpulkan ke paru-paru lalu kuhempaskan lagi.

Mawarti berdiri. Membetulkan pakaiannya. Sebelum berdiri tadi ia telah menyapu mukanya dengan telapak tangannya. Seakan-akan ia memasang topeng baru untuk mengganti mukanya yang tadi.

Badruddin, duda beranak dua yang saban sore datang ke mari untuk mengutip cicilan hutang prabot dapur kami tegak di teras menghadap ke dalam. Kemeja putih, celana lee yang membungkus tubuhnya yang tegap menambah kegagahannya. Sebuah buku tebal berkulit coklat ada di tangan kanannya. Tangan dengan jemari manis bercincin batu bacan.

“Apa dia mendengar pembicaraan kami?” tanyaku ke dalam diri. Kuterima senyumnya dengan diiringi anggukan kepala. Kubalas seperlunya. Tapi rasanya senyum yang kuterima itu tak sekadar senyum yang sampai di mata lalu sirna. Senyum itu seakan menjalar dari mata, turun ke tengkuk, lalu menusuk ke dada.

Terbayang aku tingkah Mawarti. Bahasa tajam-tajam tadi ia arahkan kepadaku, tapi untuk orang ini malah halus lembut layaknya…., “layaknya dara menerima agamnya,” sesosok di dalam diriku menyambungkan agakku. “Brengsek! Keparat!”

***

Nawawir kurang lebih satu jam keluar dari rumah. Mawarti yang tubuhnya di selubungi daster biru muda bermotif bunga kenanga membersihkan ruang tengah. Pekerjaannya terhenti menyaksikan potret dirinya dan Nawawir lima belas tahun lalu dalam pernikahan mereka.

“Nawawir. Nawawir.. Kau juga yang berhasil,” gumam Mawarti. Sesungging senyum merekah di bibirnya. Ada yang terbuka di dalam kepalanya. Ia letakkan pantatnya yang bulat ke kursi yang menghala ke dinding tempat terpajang potret itu. Tumbuh rasa dalam dirinya untuk menyelusuri ruang terbuka itu.

Bukan Nawawir benar lelaki yang ada dalam hatinya. Tetapi kedatangan Nawawir malam itu ke dalam pikirannya membuat ia membongkar pasang kedudukan Badruddin yang sudah mantap dengan Nawawir. Setelah ia mengetahui ulah Badruddin yang menabung dalam rahim perempuan lain. Hancur hatinya seperti piring kaca yang di hempaskan ke batu. Tak ada yang dapat dipertahankan lagi.

Nawawir dengan Badruddin sungguh jauh api dari panggang. Baik dari wajah, gaya, dan harta. Kecemerlangan itu sudah gugur dari mata Mawarti. Baginya sekarang yang penting adalah kesetiaan. Kesetian dalam bahtera rumahtangga adalah ibarat nyawa dengan badan.

Nawawir bukanlah lelaki yang gemar bertingkah pola dihadapan Mawarti. Tidak seperti lelaki-lelaki lain yang sok ramah dan sok perhatian bila berjumpa. Nawawir memang lain. Tetapi Mawarti tahu bahwa lelaki itu suka mengamatinya. Lebih sering tersenyum kalau berjumpa dari pada menjual tanya yang merupakan basa basi belaka.

Nawawir memang lain. Mawarti merasa Nawawirlah lelaki yang harus dipilihnya. Kadangkala jodoh itu datang begitu saja.

“Assalamualaikum…” sebuah salam melompat entah dari mulut siapa, tetapi suaranya suara perempuan. Mawarti terjaga dari lamunnya seperti orang yang terjaga dari tidur karena disirahkan air ke mukanya. “Eh, Waalaikum salam…” jawaban itu seiring dengan gerak lehernya yang ingin menyaksikan tamu yang datang.

Perempuan gemuk dengan anak yang kira-kira berusia tiga tahun dalam gendongannya masuk dan duduk di kursi yang ada di ruang tengah sebagai mana yang disarankan Mawarti.

Setelah bercakap-cakap tentang hal-hal remeh-temeh, bola mata bulat milik si tamu liar menelanjangi seisi rumah. Memperhatikan apa yang dapat ia jangkau diikuti gerak kepalanya yang di topang lehernya yang panjang. “Lakimu mana?” kata si tamu.

Mawarti mengerut kening. Keheranan terbit di hatinya mendengar pertanyaan itu. “Kenapa? Ada perlu dengan dia?”

“Ah, tidak. Malah aku perlu dengan kau. Ada yang perlu kau tahu.”

Mawarti makin curiga. Apa sebenarnya mau perempuan ini. Biarpun perempuan yang ada di mukanya ini pernah – menurut kabar – menjalin cinta dengan lakinya ketika dulu masih remaja, Mawarti tak pernah menaruh curiga kalau-kalau cinta itu akan bersemi kembali. Malah dia sangsi kalau-kalau lakinya menjadi bahan gunjing seperti laki-laki yang lain.

Tamunya itu sudah terkenal sebagai ratu gunjing di dusun ini. Ada saja yang menjadi bahan lezat untuk digarap sebagai buah bibir. Walau demikian, ingin juga Mawarti mengetahui apa sebenarnya yang akan disampaikan tamunya itu. “Nawir sudah pergi dari tadi. Kenapa?”

“Syukurlah. Kau tahu sesungguhnya setiap laki butuh penerus.” Mata perempuan itu tertuju pada potret di dinding. Kemudian memutar kepalanya ke arah Mawarti, “Ya. Anak maksudku.” “Apa kau tak curiga dengan Nawir yang pulang lebih gelap dari biasa belakangan ini?”

Terbakar hati Mawarti menangkap makna ucapan itu. Memiliki anak merupakan cita-cita yang sampai kini belum juga terwujud. Ia pun merasa sepi. Sering hatinya terturih bila melihat anak-anak kecil. Kenapa tak datang anak itu dari rahimku, katanya bila mengingat hal itu.

“Belum rezeki, Kak. Lagi pula aku tahu bagaimana Nawir.”

“Apa kau tahu apa yang ia lakukan di luar? Misalnya di sela-sela pekerjaannya atau sepulang kerja?” Mawarti terdiam sejurus. Si tamu meneruskan lagi, “kau jangan marah ya. Kemarin aku bertemu dengan dia. Seorang perempuan di boncengnya dan seorang anak kecil duduk di depan. Kau tak curiga kalau ia punya simpanan?”

“Ah, Kak. Itu tak mungkin.” Jawaban yang keluar dari mulut Mawarti berbelok dari bahasa hatinya. Di dalam dirinya muncul bahasa-bahasa yang mendorong-dorong pagar kesabarannya. Ingin merubuhkannya. Ketakutan-ketakutan yang berhubungan dengan perselingkuhan muncul pelan-pelan dari dasar hatinya. Ketakutan-ketakutan yang ia benam dalam-dalam. Layaknya hantu yang diseru dengan jampi, muncullah ia dari kuburnya untuk menyatakan dirinya. Mawarti menarik nafas panjang, lalu menghempaskannya pada kebebasan.

“Alangkah berengseknya Nawir bila hal itu benar. Sungguh lelaki yang tak kadar diri. Tak tahu diuntung,” keluh hayati diruang paling sunyi dirinya.

***

“Oh. Aku tahu sekarang. Pantas saja kau demikian. Laksana burung yang terkukung dan minta di lepaskan karena ada sangkar yang lebih indah dari apa yang didiaminya,” tukas Nawawir menyaksikan Badruddin lepas dari halaman.

“Apa maksudnya?”

“Ternyata dia orang yang telah memberi pengaharapan lebih kepada burung itu.”

“Jangan buang pelawa. Jangan libatkan orang untuk menutupi kesalahan.”

Nawawir masuk ke kamar. Mawarti telah berdiri berkecak pinggang di bawah potret pernikahan menghala ke pintu tengah untuk menyaksikan Nawawir keluar kamar. Tak makan waktu lama, Nawawir keluar tanpa bawaannya lagi.

“Kalau aku inginkan dia, dari dulu pun sudah.”

“Ah, itukan dulu. Sekarang beda. Itu jelas terlihat dari caramu memperlakukannya itu. Kau masih mencintainya dan menginginkan untuk bersamanya, bukan?”

“Kau memang lelaki tak tahu diuntung.” Kemarahan Mawarti sudah sampai ke ubun-ubun. Kemarahan menguasai dirinya sepenuhnya. Mukanya merah padam dan tubuhnya terasa bergetar bukan kepalang.

Mendengar ucapan bininya itu, Nawawir merasa direndahkan. Ia ingat lima belas tahun silam. Mendapati perempuan yang hampir tak punya kekuatan untuk hidup karena gantungan hatinya teramat tega berhianat. Memang bukan semata-mata kasihan melihat hal itu lalu ia menikahi Mawarti, melainkan ada pula api cinta. Dan cinta itu pula yang menjadi-jadi setelah mesaksikan derita orang yang dicinta.

Akal sehat sudah menepi dari diri Nawawir. Ia pun turut pula dibutakan amarah. Seraya diseru pula hantu-hantu dari kubur kebimbangannya untuk bangkit menyatakan keberadaan.

“Kau yang tak tahu diuntung. Tak tahu dikasihani. Kalau tidak karena aku, mungkin kau sudah dipasung atau tenggelam dalam bujuk rayu tali gantungan atau racun!”

“Anjing, kau!” Mawarti kalap. Ia dekati meja tamu yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Membungkuk. Meraih pas bunga kramik lalu melayangkannya dengan penuh birahi ke potret yang ada di dinding, yang menyaksikan pertengkaran mereka. Seakan-akan ia tak rela membiarkan kemesraan yang tergambar dalam potret itu menghinakan kemelut yang tengah di rasa. Mereka berdua pun bermandi serpihan kaca.

Percut, 2015
___________________________________


Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).



Di Kedai Kopi Sajali

ORANG-ORANG di kampung ini dari dulu memang tak mau bersusah payah mengurusi takdir. Tak mau membuang-buang waktu cuma membualkan hal yang dipercayakan sepenuhnya kepada Tuhan. Tuhan yang sampai kini pun masih diibaratkan sebagai sutradara, sekaligus pengarang naskah, sebagaimana layaknya dalam drama. Orang-orang di kampung ini pun menjadikan dirinya sebagaimana pelakon-pelakon yang setia pada kemauan si sutradara yang sekaligus pengarang naskahnya.



  Syafrizal Sahrun*  

Memang tidak pula bisa dipungkiri, sekali-kali tercetus juga dari mulut tentang kalau-kalau, jangan-jangan, atau sejenis kata ulang lain yang bermakna praduga. Tetapi sungguh hal itu jarang sekali. Orang-orang di kampung ini takut kualat jika Yang Maha Kuasa benar-benar mendengar. Takut bala ditimpakan kepada mereka.

Inilah yang dikatakan sekali-sekali itu. Dari mulut Samah meluncur ucapan yang sangat mereka takuti. Ucapan yang ketika disuarakan membuat kening berkerut dan bibir menipis atau menciut. Samah yang duduk menghadap steling kedai kopi Sajali, setengah baru mengangkat gelas kopinya. Samah satu meja dengan Lokot serta Sajali – si pemilik kedai kopi. Televisi yang dipajang di atas steling bersemuka dengan Samah.

“Hha.. Kelian tengok! Itulah makanya aku malas berangkat,” kata Samah sambil menunjuk ke televisi yang sibuk menyiarkan tragedi mesin derek yang roboh di depan pintu Al-Salam, Masjidil Haram. Lokot dan Sajali memalingkan wajahnya ke belakang. “Kelian pikir orang yang meninggal itu masuk surga begitu cepat? Tidak,” sambungnya lagi sambil menawarkan wajah yang kecut kepada Lokot dan Sajali.

Orang berdua tempat berlabuh cerita saling berpandangan. Saling mengirimkan pesan lewat tatapan mata yang kira-kira isinya: Gila! Berani kali anjing ini menggonggong begitu.

Televisi yang tak pernah takut kepada lelaki yang menyimpan tato di pangkal lengan kanannya, yang selalu berusaha meyakinkan orang-orang bahwa itu adalah gambar jangkar kapal yang dibuat oleh seniman tato ternama ketika Samah di penjara – padahal orang-orang tahu benar tato itu lebih mirip payudara – dengan angkuhnya tetap menyiarkan tragedi yang mengharukan dan sangat disesalkan bagi sebagian besar penduduk dunia. Si penyiar dengan sikap dan bahasa yang tak menunjukkan kegugupan, mengabarkan kronologis terjadinya tragedi itu sambil sesekali ditayangkan lokasi dan korban-korbannya.

Samah menaikan lutut kanannya. Di puncak lutut itu tangan kanannya berpangku. Ia cabut lebai putih yang membungkus kepala botaknya dan meletakannya di atas meja. Bertetangga dengan kopi yang baru dua atau tiga kali didirupnya. Asap dari kopi itu masih mengepul. Mengepul sebagaimana hangat di dada Lokot dan Sajali.

“Jangan begiyan cakap awak, kang kualat!” Lokot, tukang ayam potong di simpang jalan sana, yang sembilan puluh persen rambutnya memutih, angkat bicara. Sajali bangkit dan berjalan ke dalam kedai. Pura-pura menyetel api yang memanaskan air di dandang sedang.

“Tidak. Kan betul kubilang,” suara Samah lantang dan matanya terbeliak. Diangkatnya gelas kopinya. Belum sampai gelas ke bibir ia berujar lagi: Dari pada mati di kampung orang, lebih baik mati di kampung sendiri. Sudah bayar mahal tapi mati mengenaskan.

Lokot tak tahan mendengar ceramah Samah yang jauh menikam ke lubuk hatinya. Memang korban-korban itu bukan sanak keluarganya, tetapi secara kemanusian, jangankan mengatakan, mendengar ucapan Samah yang demikian perutnya mual. Ingin rasanya Lokot muntah di wajah Samah yang berengsek itu.

“Ini Bang uang kopiku tadi!” Lokot mengeluarkan uang tiga ribu dari lempitan uang ribuan yang ada di kantongnya. Menjulurkan kepada Sajali. Sajali mendekat dan mengambil uang itu. “Cepat tutup, Bang! Bisa-bisa kualat kedai Abang ini.” ucap geram Lokot sambil bola matanya melirik kepada Samah. Lantas ia pun pulang.

Sajali tersenyum dan kembali ke dalam. Jam dinding menunjukan pukul sembilan. Malam masih rendah. Di kedainya tinggal Samah. Lelaki yang di pangkal lengan kanannya terdapat tato jangkar kapal. Jika bukan pemilik kedai, ingin rasanya Sajali meninggalkan Samah sendiri. Tapi itu tak mungkin. Sebagai pemilik kedai yang menghargai pelanggan, Sajali duduk kembali satu meja dengan Samah.

“Jadi Abang berangkat itu?” tanya Samah pada Sajali.

“Insyaallah,” jawab Sajali sederhana.

“Apa yang Abang cari di sana? Tuhan? atau gelar? Biar nampak mantap. Kemudian orang-orang akan menamai kedai Abang ini kedai Haji Sajali. Lalu Abang pun akan disapa bang haji. Heh?!”

Bagi Sajali pertanyaan Samah itu bukanlah layaknya pertanyan. Sajali merasa Samah memang sudah gila. Atau jangan-jangan ia sudah murtad dari agamanya. Sajali tersenyum saja mendengar pertanyaan yang tak perlu jawaban itu.

“Kalau mau mencari tuhan, ngapain jauh-jauh. Kan tuhan itu dekat tak berjarak. Banyak orang pergi ke Mekah, begitu pulang cara hidupnya tambah parah. Abang tengoklah si Salim. Dulu kemain eloknya, Setahun pulang, eh, kawin lagi. Jadi haji kawin dua kali. Hajah Mona coba Abang tengok. Dulu orangnya pendiam. Sekarang, setelah jadi ibu hajah, makin sering ikut pengajian, makin senang mempergunjingkan orang. Jangan-jangan setelah Abang nanti menyandang gelar haji, harga kopi yang semula tiga ribu, abang naikan jadi lima ribu. Apa sebab? Karena kopi itu dibuat oleh tangan seorang haji.”

Wajah Sajali naik merah. Badan kurusnya mendadak panas. Tangannya tanpa ia sadari sudah terkepal dan gemetar. Ingin rasanya ia labuhkan genggaman tangan itu – yang telah menjadi tempat berkumpul seluruh tenaganya – ke muka kafir berengsek itu. Manusia biadab itu telah mengotori kedainya, mengotori hatinya. Dengan memperbanyak istighfar, ia tenangkan hatinya. Ia sejukkan bara yang marak di dada.

“Anggapanmu itu salah semua,” ucap Sajali dengan suara yang gemetar. Bukan karena ia takut, melainkan gemetar karena menahan emosi yang masih ia coba tenangkan. “Aku berangkat bukan karena aku mau berjumpa tuhan. Lagi pula perkara Tuhan, sudah lama aku menemukannya. Ya, seperti kau bilang; Ia dekat. Untuk apa sampai ke Mekah mencarinya,” ucap sajali geram. Dalam hatinya cepat-cepat minta ampun. Ia merasa tuhan pasti tahu kemana arah ucapannya. “Bila pun aku sudah kembali dari sana nanti, kau pun berhak menyapaku tanpa kata haji. Begitu juga orang-orang. Haji itu bukan untuk disebut-sebut. Melainkan untuk dimaknai. Lagi pula bila si Salim mau kawin seratus kali pun itu haknya. Dia kan manusia juga, bukan lantaran dia sudah pergi ke Mekah lantas menjadi nabi. Apa hak kita marah? Tapi kalau Istrimu yang dikawininya sebelum kau ceraikan, barulah ada hakmu marah. Macam si Mona, dia kan perempuan. Mulutnya saja dua. Lantak dia mau bergunjing. Kan dosa itu urusan pribadi. Coba kau pikir, mana lebih baik orang yang bergunjing tapi sudah melaksanakan haji dengan orang yang bergunjing, jangankan pergi haji, salat sehari sekalipun tidak? Lakunya seperti orang salat. Kemana-mana pakai lebai. Kesannya biar nampak dekat dengan kebenaran.” Sajali meresa bahagia mengucapkan kalimat-kalimat panjang itu. “Udah sejuk kutengok kopimu. Mau kutukar dengan yang baru?”

Samah melongo. “Ah, tak payah, Bang! Tapi abang tongoklah siaran tadi. Menyedihkan sekali cara meninggal orang itu. Tertimpa mesin derek. Macam tak ada lagi mati yang elok bagi mereka. Entah mati sedang salat, mati terkelicik sewaktu mengambil wuduk, atau mati jenis lain yang bisa dibanggakan.”

“Mati bukan urusan kita, Mah! Mau mati bagaimanapun, urusan masuk surga dan neraka sepenuhnya hak Yang Kuasa. Yang pasti kita akan mati. Tapi kalau kau mau hidup selamanya, itupun bukan urusanku. Urusanku hanya menghitung hutang-hutangmu. Bila kau mati dengan cara sesaleh apa pun, paling ketika tukam aku tak lupa membawa catatan hutang. Ketika bilal menanyakan tentang hutang-hutangmu, aku tak segan-segan tunjuk tangan dan menjelaskannya panjang lebar.”

Mereka berdua tertawa terbahak-bahak. Tertawa yang sebenarnya lebih kepada sindiran. Tertawa yang mengisyaratkan kemenangan dan sela untuk membalas.

“Abang pun kalau mati nanti di Mekah dengan sesadis apapun, Aku siap menggantikan Abang melanjutkan jualan ini. Termasuk menggantikan Abang di atas ranjang,” ucap Saman sambil terbahak.

Sajali membendung amarah. Untuk menghargai pelanggan, dia pun ikut tertawa. Angin malam berputar-putar menyejukkan tubuh mereka berdua.

“Tapi kalau kau yang mati dengan cara sesaleh apapun, sedangkan istrimu tak bisa melunasi hutang-hutangmu, jujur, aku tak sudi berselubang denganmu. Meskipun istrimu merengek-rengek meminta hutang dibayar dengan tidur seranjang.”

Samah naik pitam mendengar kata yang dia anggap kurang ajar itu. Dia menganggap Sajali, lelaki kurus itu, tak menghargai tato yang begitu menobatkannya sebagai preman yang ditakuti preman-preman se kampungnya, katanya. Dia tepis sekuat tenaga gelas kopi yang ada di depannya hingga melayang jauh menghantam dinding kedai dan pecah berkecai. Dia bangkit dari duduknya dan membalikkan meja. Untung Sajali lekas mengelak. Dengan badannya yang kekar, dia buru Sajali. Setelah berada di dekat Sajali, dia ayunkan tangannya yang sudah terkepal ke wajah Sajali. Sajali mengelak. Mendapati serangan yang tak pas sasaran, emosi Samah makin bergelora. Dia seakan menjadi seekor anjing liar yang siap membunuh mangsanya. Diserangnya Sajali bertubi-tubi. Tapi Sajali mampu menyelamatkan diri. Karena takdir, muka Sajali yang tirus akhirnya mampu didarati kepalan tinju Samah. Sajali Tercampak masuk ke dalam kedai. Tubuh kurusnya terhempas. Kedai itu habis kacau balau.

Samah terus memburu Sajali. Rasanya kalau tak mati ia tak mau menyudahi. Saat hendak mengejar Sajali ke dalam, saking bernafsunya Samah tak sempat melihat ke bawah. Samah menginjak bungkus mie instan yang tergenang di air yang tumpah. Samah terkelicik. Tubuhnya yang tegap itu menyeruduk kompor gas yang menjunjung dandang berisi air yang dipanaskan.

“Kesempatan bagus,” ucap Sajali dalam hati. Di tangan kanannya sudah tergenggam sepucuk pisau yang berkilau diguyur cahaya lampu. Sajali pun rupanya telah dibutakan amarah. Dia juga berhasrat menghabisi nyawa lelaki yang memiliki tato mirip gambar payudara itu. Dia lupa akan berangkat ke Mekah.

Sebelum Sajali melangkah dan menancapkan pisau ke dada Samah, dandang yang berisi air yang dididihkan itu oleng dari tungkunya. Samah yang tergeletak di bawah meja kompor itu belum sempat bergerak.

“Awas, Mah!” seru Sajali keras. Dia menanggalkan pisau yang telah dipegangnya sungguh-sungguh. Menjatuhkannya ke lantai. Dia ingin menyelamatkan lelaki berengsek itu dari tragedi.

Belum sampai tangan Sajali ke kaki Samah, air mendidih dalam dandang lebih dahulu mengguyur lelaki yang tadi seolah berubah menjadi anjing. Samah menjerit dan menggelepar-gelepar menahankan air mendidih yang memandikan tubuhnya. Membuat jangkar kapal yang berdiam di pangkal lengan kanannya basah.

Tubuh Samah tak ubahnya seperti kapal yang diterpa ombak dan tak mampu kemana-mana sebab jangkarnya telah diturunkan. Tapi siapakah yang telah menurunkan jangkar itu?

Menyaksikan tragedi itu Sajali terduduk. Lemas tak berdaya. Bagai seorang penonton yang terpedaya dengan keelokan lakon drama tragis yang baru saja diturunkan layarnya.

Percut, September 2015
_________________________________________


Syafrizal Sahrun. Lahir di Percut, 4 November 1986. Alumni FKIP UISU Prodi. Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bekerja sebagai guru honor di SMA Negeri 1 Percut Sei Tuan. Karya puisi, cerpen, esai sastranya telah dimuat di media lokal dan nasional. Ada juga yang telah dibukukan dalam antologi bersama. Pernah "dinobatkan" sebagai sastrawan muda Sumatera Utara dalam Omong-omong Sastra Sumut (OOS).

Friday, November 6, 2020

Surat kepada Tuhan

SATU-SATUNYA rumah yang ada di lembah itu berada di atas puncak sebuah bukit kecil. Dari atas ketinggian seperti itu seseorang bisa melihat sungai dan, di sebelah pekarangan untuk memelihara ternak, ladang tanaman jagung yang sudah masak yang di sela‑selanya bertaburan bunga‑bunga kacang merah yang selalu menjanjikan panen yang baik.



  Gregorio Lopes Y Fuentes  
(Cerpen terjemahan)

Satu‑satunya yang dibutuhkan bumi adalah curah hujan atau setidaknya hujan sedikit saja. Sepanjang pagi itu Lencho, yang sangat mengenal ladangnya, tidak melakukan apapun selain mengawa­si langit ke arah timur laut.

“Sekarang kita benar‑benar akan mendapat air, Bu.”

Istrinya yang sedang menyiapkan makan menjawab:

“Ya, insya Allah.”

Anak‑anak lelaki yang sudah besar sedang bekerja di ladang sementara yang masih kecil bermain‑main di dekat rumah, sampai akhirnya si istri memanggil mereka semua:

“Sini makan dulu!”

Saat mereka sedang makan, seperti yang telah diperkirakan Lencho, tetes‑tetes air hujan yang besar‑besar mulai berjatuhan. Di sebelah timur laut mendung tebal berukuran raksasa bisa dili­hat sedang mendekat. Udara terasa segar dan nyaman.

Pria itu pergi ke luar untuk melihat pekarangan tempat memelihara ternaknya, semata‑mata sekedar ingin menikmati hujan yang mengguyur tubuhnya, dan ketika kembali ia berseru:

“Yang jatuh dari langit itu bukan tetesan‑tetesan air hujan tapi kepingan‑kepingan uang logam baru. Yang besar‑besar sepuluh centavo dan yang kecil‑kecil lima ….”

Dengan ekspresi yang menujukkan kepuasan ia memandang ladang jagung yang masak dengan bunga‑bunga kacang merahnya yang dihiasi tirai hujan. Tapi tiba‑tiba angin kencang mulai berhembus dan bersamaan dengan air hujan bongkahan‑bongkahan es yang sangat besar mulai berjatuhan. Bentuknya memang benar‑benar seperti kepingan‑kepingan uang logam perak yang masih baru. Anak‑anak lelaki yang sedang membiarkan tubuh mereka diguyur hujan berlari‑larian untuk mengumpulkan mutiara‑mutiara beku itu.

“Sekarang benar‑benar semakin buruk!” seru pria itu, geli­sah. “Kuharap semoga cepat berlalu.”

Ternyata tidak cepat berlalu. Selama satu jam hujan es itu menimpa rumah, kebun, lereng bukit, ladang jagung, di seluruh lembah. Ladang itu menjadi putih seperti tertimbun garam. Tak selembar daunpun masih tertinggal di pepohonan. Tanaman jagung itu sama sekali musnah. Bunga‑bungapun rontok dari tanaman kacang merah. Jiwa Lencho dipenuhi kesedihan. Ketika badai itu telah berlalu ia berdiri di tengah‑tengah ladangnya dan berkata kepada anak‑anaknya:

“Wabah belalang masih menyisakan lebih banyak daripada ini. Hujan es sama sekali tak menyisakan apapun. Tahun ini kita tidak punya jagung atau kacang ….”

Malam itu penuh kesedihan.

“Semua kerja kita sia‑sia!”

“Tak ada seorangpun yang dapat menolong kita!”

“Kita akan kelaparan tahun ini ….” Tapi di hati semua orang yang tinggal di rumah yang terpen­cil di tengah lembah itu masih tersisa satu harapan: pertolongan dari Tuhan.

“Jangan terlalu sedih meskipun kelihatannya seperti keru­gian total. Ingatlah, tak ada orang yang mati karena kelaparan!”

“Itulah yang mereka katakan: tak seorangpun mati karena kelaparan ….”

Sepanjang malam itu Lencho hanya memikirkan harapan satu‑satunya: pertolongan dari Tuhan, yang mata‑Nya (sebagaimana diajarkan kepadanya) melihat segala sesuatu, bahkan sampai ke dalam lubuk hati seseorang yang paling dalam sekalipun.

Lencho adalah seorang pekerja keras yang bekerja seperti binatang di ladang, tapi dia masih bisa menulis. Pada hari ahad berikutnya, ketika dinihari, setelah meyakinkan dirinya bahwa masih ada zat yang melindungi, ia mulai menulis sepucuk surat yang akan dibawanya sendiri ke kota dan dimasukkan ke pos.

Itu tidak lain adalah surat kepada Tuhan.

“Tuhan …,” tulisnya, “kalau Kau tidak menolongku, aku dan keluargaku akan kelaparan tahun ini. Aku membutuhkan seratus peso untuk menanami kembali ladangku dan untuk kebutuhan hidup sampai saatnya panen nanti, karena badai es ….”

Dituliskannya “Kepada Tuhan” di atas amplop lalu dimasuk­kannya surat itu kedalamnya, dan masih dengan pikiran dan pera­saan yang galau ia pergi ke kota. Di kantor pos diberinya surat itu perangko kemudian dimasukkannya ke dalam kotak pos.

Salah seorang pegawai di sana, seorang tukang pos yang juga ikut membantu di kantor pos itu, mendatangi atasannya sambil tertawa terpingkal‑pingkal dan memperlihatkan kepadanya surat kepada Tuhan tadi. Selama karirnya sebagai tukang pos, ia tidak pernah tahu di mana alamat itu. Sedangkan sang kepala pos, seorang yang gemuk dan periang, juga tertawa terbahak‑bahak. Namun hampir tiba‑tiba saja ia berubah menjadi serius, dan sambil mengetuk‑ngetukkan surat itu di mejanya iapun berkomentar:

“Keimanan yang hebat! Seandainya imanku seperti imannya orang yang menulis surat ini. Punya kepercayaan seperti keper­cayaannya. Berharap dengan keyakinan yang ia tahu bagaimana caranya. Melakukan surat‑menyurat dengan Tuhan!”

Dengan demikian untuk tidak mengecewakan keajaiban iman itu, yang disebabkan oleh surat yang tak dapat disampaikan, sang kepala pos mengajukan sebuah gagasan: menjawab surat tadi. Namun ketika ia memulainya ternyata untuk menjawabnya ia membutuhkan tidak hanya sekedar kemauan, tinta dan kertas. Tapi tekadnya sudah bulat: ia memungut iuran dari para anak buahnya, ia sendi‑ripun ikut menyisihkan sebagian gajinya dan beberapa orang te­mannya juga diwajibkan untuk ikut memberikan “sumbangan”.

Akan tetapi tidak mungkin baginya untuk mengumpulkan uang sebanyak seratus peso, ia hanya bisa mengirim kepada si petani sebanyak setengahnya lebih sedikit saja. Dimasukkannya lembaran‑lembaran uang itu ke dalam amplop yang dialamatkan kepada Lencho dan bersamanya hanya ada selembar kertas yang bertuliskan satu kata sebagai tanda‑tangan: TUHAN.

Pada hari ahad berikutnya Lencho datang sedikit lebih awal daripada biasanya untuk menanyakan apakah ada surat untuknya. Si tukang pos sendiri yang menyerahkan surat itu kepadanya. Semen­tara sang kepala pos, dengan perasaan puas sebagai orang yang baru saja berbuat kebajikan, menyaksikan lewat pintu keluar‑masuk ruang kerjanya.

Lencho sedikitpun tidak terkejut menyaksikan lembaran‑lembaran uang tadi, sesuai keyakinannya, namun ia menjadi marah setelah menghitung jumlahnya. Tuhan tidak akan keliru atau menya­lahi apa yang diminta Lencho!

Segera saja Lencho pergi ke loket untuk meminta kertas dan tinta. Di atas meja tulis untuk umum iapun mulai menulis sampai‑sampai keningnya sangat berkerut saking bersemangatnya dalam menuangkan gagasannya. Setelah selesai ia pergi lagi ke loket untuk membeli perangko yang lalu dijilat dan kemudian ditempel­kannya di atas amplop dengan pukulan kepalan tangannya.

Setelah surat itu dimasukkan ke dalam kotak pos, sang kepala pos membukanya. Bunyinya:

“Tuhan, dari uang yang kuminta itu, hanya tujuh puluh peso saja yang sampai ke tanganku. Kirimkanlah sisanya kepadaku karena aku sangat membutuhkannya. Tapi jangan dikirimkan kepadaku lewat pos karena para pegawai di kantor pos itu adalah orang‑orang brengsek. Lencho.”

__________________________________________



Gregorio Lopez Y Fuentes, kelahiran tahun 1899 di Mexico. Selain pengarang fiksi ia juga seorang penyair dan wartawan. Pada tahun 1935 ia memenangkan The National Prize of Mexico untuk novelnya El Indio. Cerita ini disadur oleh Sya­fruddin HASANI.

Ad Placement